#19 sorry (Tian)

6 2 4
                                    

Dey masih belum mau keluar dari kamarnya. Ini sudah hampir tengah malam dan gue masih setia nungguin Dey di depan kamarnya. Sampai tanpa sadar gue pun mulai tertidur dengan posisi duduk di lantai.

Gue terbangun tengah malam dan mendapati diri gue yang tidur terlentang di lantai lengkap dengan bantal dan selimut. Gue pergi ke dapur sebentar buat ambil minum dan melihat seluruh isi rumah sudah rapih. Padahal tadi berantakan banget, banyak sampah plastik dan kaleng bekas cemilan yang dibawa Jevan dan Juna kesini. Di ruang tamu gue mendapati dey yang tengah tertidur di sofa sembari memegang remot tv.

Gue jongkok di depan sofa itu dan memperhatikan Dey yang tengah tertidur. Jari gue menelusuri seluruh area wajah Dey. Mulai dari alis nya yang sedikit tebal, matanya yang sipit, dan bibirnya yang sedikit terbuka. Ternyata seperti ini gadis yang gue anggap adik kecil ini. Tidak tega membiarkan perempuan itu tidur di sofa, gue menggendongnya ke kamar dan menaruhnya ke kasur.

Tangan gadis itu melingkar di atas pundak gue. Dey menarik gue sampe gue bisa merasakan nafasnya dari dekat. Satu detik dua detik gue menatap seluruh wajah Dey kemudian Dey melepaskan tangannya sendiri.

Setelah itu gue keluar dari kamarnya Dey dan masuk ke kamar gue. Tak lupa juga untuk menutupi seluruh tubuh gadis itu dengan selimut. Bayangan tadi menghantui kepala gue. Bayangan wajahnya saat tidur terlihat dengan jelas. Bukan hanya itu, perasaan bersalah juga menghantui hati dan pikiran gue. Terbesit di pikiran gue apa salah gue menganggap Dey sebagai adik kecil?

Sebenarnya gue juga masih belum tau harus menganggap Dey itu apa? Kita memang suami istri yang sah secara hukum dan agama. Tapi gue gak ada perasaan apa-apa sama Dey. Dan kita juga menikah bukan atas dasar kemauan masing-masing. Soal kemarin gue bawa dia ke danau itu karena gue memang pengen menghibur dia supaya gak sedih lagi.

Tapi gue juga merasakan hal yang tidak biasa akhir-akhir ini. Ketika melihat orang lain sedih gue biasa aja dan bahkan gak pernah ada niatan buat menghibur. Tapi kalau ngeliat Dey sedih di depan ruang UGD waktu itu ada perasaan gak tega bahkan benci melihatnya.

Hari itu gue gak bisa tidur lagi. Gue berjalan keluar kamar dan bersihin rumah sekali lagi walaupun rumah udah bersih. Sampai tidak terasa kalau sebentar lagi matahari akan terbit yang ditandai dengan suara adzan yang berkumandang. Gue pergi solat subuh sebentar setelah itu lanjut masak untuk sarapan. Selesai solat subuh gue melihat Dey pergi ke toilet tapi dalam keadaan matanya yang sedikit tertutup. Gue juga sempat mihat gerak-gerik nya yang tengah melakukan gerakan solat lalu tidur lagi setelah selesai.

Setelah itu gue lanjut lagi ke dapur untuk masak. Di dapur hanya ada nasi sisa kemarin dan dua butir telur. Dengan dua bahan ini mungkin bisa dibikin menu nasi goreng atau telor ceplok. Setelah sepersekian detik memutar otak gue pun memutuskan untuk bikin nasi goreng.

"Udah bangun?" Ucap gue ketika mendapati dey yang baru aja keluar kamar.

"Makan dulu nih!" Ucap gue sembari meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja.

Kemudian Dey duduk di sofa itu dan gue duduk di sebelahnya. Kami menyantap nasi goreng itu dengan lahap. Fyi selama ini yang masak di dapur lebih banyak gue daripada Dey. Dia bukan gak bisa masak, masakan dia memang enak tapi dia sekarang udah mulai sibuk sama orderannya sementara kerjaan gue di rumah sekarang ya periksa hasil latihan soal anak-anak di bimbel. Biasanya gue yang masak Dey yang cuci piring dan begitu pula sebaliknya. Kalau kita pesen makanan dari luar ya cuciannya kita biarin numpuk sampe pagi. Dan kita juga gak ada yang permasalahin hal itu.

Suasana canggung melanda ruangan 4x6 itu. Hanya ada suara tv yang terdengar ke seluruh ruangan. Tidak ada satu pun yang berbicara diantara kami.

"Dey". Panggil gue

"Iya?"

"Kemarin... Lo denger ya apa yang gue ucapin?" Tanya gue.

"Rumah kita ini kan kecil. Gak kayak rumah orang lain, jadi sekalipun kalian ngomongnya bisik-bisik pun gue tetap bisa dengar". Jawab Dey .

"Sorry ya Dey". Ucap gue .

"Buat apa kak?" Tanya Dey.

"Soal ucapan gue kemarin.... Gue gak ada maksud begitu kok". Ucal gue

"Iya kak".

"Aku juga udah lupain kok". Ucap Dey.

"Sorry ya". Ucap gue.

"Iya kak".

Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara kami berdua. Kami sibuk dengan urusan masing-masing. Dey yang tengah sibuk dengan foto katalognya dan gue yang masih sibuk periksa latihan soal anak-anak bimbel dengan beragam jawaban. Ada yang semua jawabannya benar, ada juga yang hanya salah satu atau dua soal, dan masih banyak lagi. Sampai tiga puluh buku bertumpuk di meja kerja gue.

Setelah itu gue keluar kamar lagi dengan niat mau mandi. Tapi gue mengurungkan niat buat mandi sekarang setelah melihat Dey yang tengah sibuk packing orderan sendirian.

"Perlu bantuan?" Tanya gue.

"Iya". Jawab Dey singkat.

Semua orderan yang kita packing berdua baru benar-benar selesai dua jam kemudian. Dey kembali masuk ke kamarnya dan gue memilih untuk tetap di ruang tamu dan duduk di sofa sembari membuka roomchat kelas yang udah lama gak gue buka. Meskipun gue udah keluar dari sekolah tapi gue masih tetap gabung di roomchat kelas.

 Meskipun gue udah keluar dari sekolah tapi gue masih tetap gabung di roomchat kelas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
we got married Where stories live. Discover now