#24 mati rasa (Tian)

8 3 15
                                    

Rasa sakit yang paling dalam itu saat kita tidak tahu lagi caranya untuk menangis. Banyak dari mereka yang menangis di depan makam kakek, tetapi tidak untuk Dey. Perempuan itu hanya menatap gundukan tanah di depannya dengan sorot mata terluka, perempuan itu sudah lelah untuk menangis. Orang-orang terlihat meninggalkan makam setelah mendoakan dan memberikan beberapa bunga mawar di atas makam kakek. Dan menyisakan gue dan Dey yang masih berada di makam.

"Jangan jadikan kesedihan Lo berlarut-larut. Lo harus hidup bahagia biar kakek bahagia disana". Ucap gue.

"Gue ngerti gimana rasanya kehilangan sesuatu yang kita cintai, tapi Lo jangan sedih-sedih terus". Gue ngerti gimana rasanya kehilangan. Dulu gue pernah kehilangan sesuatu yang paling berharga di dalam hidup gue, yaitu kehilangan kasih sayang orang tua. Apalagi papah yang sekarang lebih memilih selingkuhannya sendiri dibandingkan anak-anaknya. Dan mamah sekarang udah bahagia dengan kehidupan barunya.

Mungkin sekarang Dey masih butuh waktu untuk sendiri.

"Gue kasih Lo waktu buat sendiri disini, gue tunggu di depan".

Gue dengan inisiatif pergi menuju parkiran depan makam yang sudah mulai lengang. Dan memperhatikan Dey dari jauh. Perempuan itu menatap dua batu nisan yang bersebelahan. Tangannya mengusap kedua batu nisan itu secara bersamaan. Seseorang menepuk pundak gue dari belakang.

"Mamah?" Ucap gue saat mendapati mamahnya Dey yang sudah berdiri di samping gue. Wanita dengan rambut yang terurai sampai tengkuk itu tersenyum tipis. Matanya yang memerah memberi isyarat bahwa ia juga merasakan kehilangan.

"Kakeknya Dey itu sudah seperti pengganti ayahnya Dey yang sudah lama meninggal". Ucap mamahnya Dey.

"Semenjak ayahnya Dey meninggal mamah jadi sibuk dengan pekerjaan mamah dan jarang ada waktu untuk Dey. Dey lebih banyak momen bersama kakeknya dibandingkan dengan mamah". Lanjut mamah.

"Sekarang mamah menyesali semuanya. Andai waktu bisa diulang kembali mamah pengen kembali ke masa lalu untuk menebus semuanya dan banyak menciptakan momen bersama anak mamah". Lanjut mamah lagi dengan lirih. Terlihat air mata menetes di pipinya. Sorot matanya menatap punggung Dey dan menjelaskan semua penyesalan dalam hidupnya.

"Saya tau sekarang semuanya sudah terlambat. Tapi mamah mohon sama kamu, tolong bahagiakan Dey!" Ucap mamah.

Gue mencoba mencermati setiap kata-kata mamah. Kenapa mamah begitu yakin sama gue? Padahal gue sendiri masih belum yakin sama perasaan gue ke Dey itu seperti apa. Dan gue juga takut gue gak bisa jadi suami yang baik untuk Dey kedepannya. Gue malah takut kalau gue malah menjadi suami yang buruk seperti papah. Apalagi kalau sampai punya anak gue takut jadi orang tua yang bengis. Belakangan ini gue sama papah memang jarang berkomunikasi tapi Juna dan Jevan selalu bercerita setiap kali papah marah karena mereka melakukan satu kesalahan sepele.

"Mamah tau kamu tidak akan bisa meniru cara papah saya membahagiakan cucu semata wayangnya itu. Tapi mamah pengen kamu bahagiakan Dey dengan caramu sendiri. Jangan seperti mamah". Lanjut mamah lagi.

Gak lama kemudian Dey meninggalkan makam. Kakinya memang terus melangkah keluar dari area tempat pemakaman umum, namun pandangannya sesekali melihat ke arah kuburan yang masih basah itu. Frame foto yang ia bawa masih dipeluknya dengan erat.

"Mau pulang sekarang?" Tanya gue. Dey mengangguk pelan.

Kami meninggalkan area makam dengan menggunakan mobil yang gue pinjam ke tetangga sebelah rumah. Gue yang menyetir mobil itu dan Dey yang tengah duduk manis di samping gue. Pandangannya tidak lepas dari area pesawahan yang mengitari jalan. Tatapan matanya kosong. Dan bibirnya tertutup. Namun tangannya masih tidak melepas frame foto yang menampilkan wajah kakeknya.

Sebelum pulang ke rumah kami sempat mengantar mamah terlebih dahulu. Tadi gue sempat menawarkan mamah untuk menginap di rumah, tapi mamah tidak mau. Dey juga tidak mau menginap di rumah lamanya karena takut teringat kakeknya. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah.

****

Malam hari telah tiba. Langit terang telah berubah menjadi gelap. Gue yang baru aja balik dari supermarket mendapati Dey yang tengah berdiri tegap menghadap jendela yang menampakan gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Sorot matanya menatap ke arah langit dan membayangkan sosok wajah kakeknya di atas sana. Kedua tangannya masih memeluk frame foto itu yang tidak ia lepaskan dari siang. Air mata kembali mengalir di pipinya. Lagi-lagi gadis itu menangis, namun kali ini tanpa suara sedikit pun.

Gue membuka kantong keresek bertuliskan Borobudur mart itu dan mengambil beberapa potong paha ayam yang gue beli. Gue mencoba untuk menghiburnya dengan memasak makanan kesukaannya yaitu paha ayam. Gue bisa tau Dey suka makan paha ayam karena setiap kali gue atau dia masak ayam dia selalu mengambil bagian pahanya.

"Dey, ayo makan dulu!" Ucap gue ketika ayam goreng yang gue masak sudah siap untuk di santap. Tidak ada jawaban dari Dey. Perempuan itu terus menatap ke arah langit dengan tatapan kosong.

"Dey". Panggil gue sekali lagi. Akhirnya perempuan itu menoleh.

"Ayo makan dulu!" Ucap gue.

"Kakak makan duluan aja, gue masih kenyang". Ucap Dey. Padahal dia belum ada makan apapun dari siang tadi.

"Dey, ayo sini makan bareng gue! Lo belum ada makan apapun dari siang tadi". Ucap gue. Dey menggelengkan kepalanya.

"Dey, ayo!" Bujuk gue sekali lagi. Akhirnya Dey menghampiri gue dan mau makan berdua di sofa barang gue. Gak lama setelah itu Dey kembali menangis.

"Loh, kenapa nangis lagi? Gak enak ya?" Tanya gue. Dey menggelengkan kepalanya.

"Gue inget kakek". Ucap Dey dengan terisak.

"Dey, liat gue!" Ucap gue sembari memegang bahu Dey. Perempuan itu.

"Setiap makhluk yang bernafas akan merasakan yang namanya mati, setiap orang juga akan merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kita sayang karena takdir tuhan". Ucap gue

"Lo boleh sedih, Lo boleh marah, Lo boleh nangis, tapi Lo gak boleh rusak diri Lo sendiri". Ucap gue lagi. Kedua mata kami saling bertemu satu sama lain. Dey memeluk gue dengan erat. Gue membalas pelukan itu.

"Sebentar aja, kak". Ucap Dey lirih.

"Lo juga berhak untuk bahagia, Dey". Ucap gue.

Dey memeluk gue cukup lama. Sekitar sepuluh menit lalu Dey melepaskan pelukan itu.

"Kak, makasih ya". Ucap Dey lirih.

"Kakek pengen liat Lo senyum disana". Ucap gue. Bibir Dey mengembang membentuk bulan sabit. Gadis itu terlihat lebih cantik saat tersenyum.

"Udah, makan dulu sana! Keburu dingin tuh ayamnya!" Ucap gue.

"Ini kan makanan kesukaan gue, kakak tau makanan favorit gue?" Tanya Dey.

"E-engga, gue cuman lagi pengen makan ayam aja". Ucap gue gugup.

"Iya deh". Ucap Dey sembari menyantap paha ayam yang gue masak.

Syukurlah gadis itu tersenyum lagi. Ada perasaan lega di hati gue saat melihat Dey tersenyum.

Tak terasa hari sudah semakin gelap dan mendekati waktu tidur. Gue hendak beristirahat di kamar gue, tapi seseorang menarik baju gue dari belakang. Gue menoleh ke belakang dan mendapati Dey yang sudah ada di belakang gue.

"Kak".

"Temani aku tidur!"



we got married Where stories live. Discover now