#49 saling merangkul (Tian)

9 3 3
                                    

Hari ini gue pergi ke rumah papah dengan perasaan campur aduk. Gue melangkah menuju ruang kerja papah. Gue membuka pintu coklat itu dengan kasar sehingga menciptakan suara dentuman keras yang membuat orang di dalamnya tersentak. Gue udah kepalang emosi.

"Ada apa?" Tanya papah sambil mengukir sebuah senyuman miring di bibirnya.

"Tolong jangan pernah ganggu hidup kami!" Ucap gue.

"Kamu itu anak saya! Saya punya hak untuk mencampuri hidup kamu! Kamu semenjak menikah jadi pembangkang yang tidak tau aturan". Ucap papah.

"Tidak! Saya tidak bisa hidup di bawah tekanan anda! Saya punya hak untuk hidup bebas". Balas gue datar.

"Bebas katamu? Sebentar lagi perusahaan akan saya serahkan pada kamu. Seharusnya kamu bersyukur papah pilih kamu sebagai penerus perusahaan, sebagai CEO. Tapi kamu malah menghabiskan waktu untuk bekerja di tempat les sampah itu". Ucap papah membuat amarah di leher gue keluar karena sejak tadi gue udah berusaha mati-matian menahan emosi.

Belum cukup buat papah menyiksa hidup gue dari gue kecil sampai sekarang. Gue cuman pengen bebas memilih jalan hidup tanpa di atur-atur. Sejak kecil gue selalu diajarkan untuk selalu menjadi sempurna di depan banyak orang tanpa mereka tahu apa yang gue rasakan. Gue cuman pengen hidup normal seperti kebanyakan orang tanpa harus ada rasa takut ketika melakukan sesuatu. Dalang dibalik pemecatan gue sebagai guru les adalah papah gue sendiri.

Beberapa hari yang lalu, Yuda datang ke rumah. Gue gak tau dia tau rumah ini dari mana? Dia menceritakan semua yang terjadi. Dia cerita kalau dia mendapat ancaman pembunuhan dari papah kalau dia gak pecat gue jadi guru les di tempatnya. Dia bilang papah ngelakuin itu karena papah tau dia adalah orang yang pernah Dey suka sebelum ketemu gue. Maka dari itu, dia berusaha mati-matian buat deketin Dey.

"Papah sebenarnya tidak Sudi menikahi kamu dengan istrimu. Saya terpaksa menikahi kalian untuk menutupi aib". Ucap papah.

"Sekarang, saya ingin kamu ceraikan istri kamu! Lalu kamu menikah dengan perempuan yang sudah papah siapkan untuk kamu". Lanjut papah.

"Lalu bagaimana dengan jalang papah? Sampai kapan pun saya tidak Sudi menerima perempuan itu masuk ke dalam keluarga kita!" Ucap gue.

"Kurang ajar kamu!" Papah bangkit ingin menghajar gue, tapi papah mengurungkan niatnya saat seseorang tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya.

"Jangan pukul anakku!" Ucap pemilik suara yang sangat familiar.

"Mamah?"

"Apa yang lebih rendah dari orang yang berselingkuh?" Tanpa ragu mamah mengucapkannya seolah mamah tidak lagi takut dengan apa yang akan terjadi nanti.

"Itu masa lalu!" Bentak papah.

"Patah hati terbesar seorang istri adalah ketika seorang suami lebih memilih perempuan lain pada saat ia butuh!" Ucap mamah berapi-api seakan melupakan amarahnya yang sudah lama tertahan.

"Itu sebuah kesalahan. Waktu itu saya khilaf, saya tidak sadar dengan apa yang saya lakukan pada kamu. Saya tidak mencintai dia, dan saya akan bercerai dengannya". Ucap papah.

"Omong kosong! Saya tidak percaya sama kamu! Dari dulu kamu selalu membohongi saya! Dasar pembohong!" Ucap mamah.

"Ayo, Tian, kita pergi dari sini!" Mamah menarik tangan gue keluar dari rumah itu.

Jevan menahan tangan gue saat kami melawati mereka yang berada di ruang tengah.

"Kita berdua ikut". Ucap Jevan.

"Ayo! Kita pergi sama sama". Ucap mamah.

Mamah membawa kami menuju mobil yang terparkir di depan pagar. Seseorang membukakan pintu mobil untuk kami.

Suasana di dalam mobil berubah menjadi canggung. Baik gue, mamah, Jevan, maupun Juna tidak ada yang bersuara sedikit pun. Sampai tiba lah kami di sebuah rumah mewah yang sangat besar.

"Ini rumah siapa mah?" Tanya Juna.

"Ini rumah mamah. Mamah diam diam membeli rumah ini sejak lama". Ucap mamah.

"Ayo kita masuk!" Lanjut mamah.

Kami berjalan memasuki rumah mewah itu. Seorang ajudan menyambut kami begitu kami datang. Bukan hanya satu orang saja, akan tetapi ada beberapa orang berseragam lainnya yang membungkuk ramah pada kami saat kami datang. Bukankah ini terlalu berlebihan?

Begitu masuk ke ruang tamu, mata gue menyapu seluruh area ruang tamu yang luasnya sama dengan luas rumah gue.

"Juna, Jevan, kalian lihat-lihat dulu rumah ini! Mamah mau bicara berdua dulu sama Tian". Ucap mamah.

Tanpa mengatakan apapun, Jevan dan Juna meninggalkan kami di ruangan dengan nuansa hitam putih itu.

"Mamah dengar kamu baru aja dipecat dari pekerjaan kamu, ya?" Mamah memulai pembicaraan. Gue mengangguk kecil.

"Begini, mamah punya satu penawaran bagus buat kamu, kamu bebas memilih untuk menerima atau menolaknya". Lanjut mamah.

"Tawaran apa mah?" Tanya gue.

"Mamah mau mewariskan perusahaan mamah sama kamu, tapi ada syaratnya". Ucap mamah.

"Apa mah?" Tanya gue.

"Syaratnya adalah kamu harus ikut mamah belajar bisnis di Korea". Ucap mamah.

"Korea?" Tanya gue. Mamah mengangguk kecil.

Gue terdiam. Gue bingung antara gue harus menerima tawaran itu atau menolaknya dan mencari pekerjaan lain.

"Gimana?" Tanya mamah.

"Bukan dalam waktu dekat ini kan, mah?" Tanya gue. Mamah tersenyum tipis.

"Seminggu lagi kita akan berangkat kesana kalau kamu mau ikut dengan mamah". Ucap mamah.

"Seminggu lagi?" Tanya gue.

Sekilas bayangan memori tentang gue dan Dey yang sedang menghabiskan waktu mengobrol bersama terekam dengan jelas. Gambaran dimana wajah ceria Dey yang bikin gue candu. Saking candu nya gue pengen ngeliat wajah ceria itu setiap detik.

"Tian pikir pikir dulu ya, mah". Ucap gue.

Getaran handphone mengalihkan atensi gue.

Getaran handphone mengalihkan atensi gue

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.





we got married Where stories live. Discover now