#25 bayangan kakek (Dey)

3 1 3
                                    

Sepulang dari pemakaman gue masih terbayang-bayang wajah kakek.  Frame yang menampilkan wajah kakek yang tengah tersenyum gak lepas dari tangan gue satu detik pun. Sepanjang perjalanan pulang mata gue tidak pernah lepas dari pandangan yang melihat ke area pesawahan dan jalanan di luar jendela.

Bahkan sampai malam hari pun gue masih melakukan hal yang sama. Dengan tubuh yang berdiri tegak menghadap ke arah jendela. Dan mata yang menghadap ke arah langit. Sial, bayangan wajah kakek dan papah yang sedang tersenyum selalu menghantui ilusi. Sampai tidak sadar kalau seseorang memanggil gue dari belakang.

"Dey". Panggil kak Tian. Gue menoleh ke arah sumber suara dan mendapati satu buah piring berisi paha ayam goreng kesukaan gue sudah tertata rapih di atas meja dekat sofa.

"Ayo makan dulu!" Ucap kak Tian.

"Kakak makan duluan aja, gue masih kenyang". Ucap gue Padahal gue belum ada makan apapun dari siang tadi. Gue gak berselera untuk makan apapun hari ini.

"Dey, ayo sini makan bareng gue! Lo belum ada makan apapun dari siang tadi". Ucap kak tian. Gue menggelengkan kepala.

"Dey, ayo!" Bujuk kak Tian sekali lagi. Matanya kak Tian menyorot marah tanda kalau laki-laki itu tidak suka di bantah. Gue terpaksa menuruti kemauan kak Tian. Gue ambil satu buah paha ayam dan memakannya pelan-pelan. Tanpa sadar air mata mengalir lagi di pipi gue. Gue keinget sama kakek. Dulu kakek selalu masakin paha ayam goreng kesukaan kakek. Dan rasa ayam goreng yang gue makan sekarang ini rasanya mirip dengan ayam goreng buatan kakek. Seolah-olah tuhan mengizinkan gue untuk merasakan ayam goreng buatan kakek sekali lagi.

"Loh, kenapa nangis lagi? Gak enak ya?" Tanya kak tian. Gue menggelengkan kepala. Bukan rasanya yang gak enak, tapi rasanya yang mengingatkan gue pada masakan kakek yang gak akan pernah gue makan lagi.

"Gue inget kakek". Ucap gue dengan terisak.

"Dey, liat gue!" Ucap kak Tian sembari memegang bahu gue. Gue menoleh melihat muka kak Tian.

"Setiap makhluk yang bernafas akan merasakan yang namanya mati, setiap orang juga akan merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kita sayang karena takdir tuhan". Ucap kak Tian.

"Lo boleh sedih, Lo boleh marah, Lo boleh nangis, tapi Lo gak boleh rusak diri Lo sendiri". Ucap kak Tian lagi. Kedua mata kami saling bertemu satu sama lain. Gue memeluk kak Tian dengan erat. Dan kak tian membalas pelukan itu.

"Sebentar aja, kak". Ucap gue lirih. Rasanya nyaman sekali. Begini ya rasanya dipeluk sama suami?

"Lo juga berhak untuk bahagia, Dey". Ucap kak Tian.

Bahagia?

Orang yang bikin gue bahagia udah diambil tuhan. Lalu bagaimana caranya gue bisa bahagia setelah kepergian kakek?

Gue memeluk kak cukup lama. Sekitar sepuluh menit lalu gue melepaskan pelukan itu.

"Kak, makasih ya". Ucap gue.

"Kakek pengen liat Lo senyum disana". Ucap kak Tian.

"Udah, makan dulu sana! Keburu dingin tuh ayamnya!" Ucap kak Tian.

"Ini kan makanan kesukaan gue, kakak tau makanan favorit gue?" Tanya gue. Gue penasaran gimana caranya kak Tian bisa tau makanan favorit gue? Padahal dia aja gak pernah nanya. Mungkin kak Tian nanya ke mamah kali ya?

"E-engga, gue cuman lagi pengen makan ayam aja". Ucap kak Tian terbata-bata

"Iya deh". Ucap gue sembari menyantap paha ayam yang kak Tian masak.

Terima kasih kak.

Terima kasih udah buat gue senyum lagi walaupun setelah ini gue gak tau apa gue masih bisa senyum apa engga?

Tak terasa hari sudah semakin gelap dan mendekati waktu tidur. Gue gak bisa tidur sendirian malam ini. Bayangan kakek masih terus mengusik pikiran. Gue masih pengen dipeluk sekali lagi. Gue keluar kamar dan mendapati kak Tian yang baru aja mau masuk ke kamarnya. Gue menarik baju kak Tian dari belakang. Kak Tian menoleh ke belakang.

"Kak".

"Temani aku tidur!" Ucap gue dengan sadar. Kak Tian menatap gue bingung.

"M-maksudnya temenin gue di kamar sampe gue tidur". Ucap gue terbata-bata.

"Oh-okeee". Ucap kak Tian.

Kemudian kami masuk ke kamar gue. Gue tidur di kasur dan kak tian tengah duduk di samping kasur sambil kepalanya menyandar ke tembok.

"Kak". Panggil gue.

"Hm".

"Disini!" Ucap gue sembari menepuk-nepuk kasur di sebelah gue yang kosong. Kak Tian berdiri kemudian mengambil posisi tiduran di sebelah gue. Kedua mata kami saling bertemu satu sama lain. Suasana canggung menyelimuti ruangan itu.

"Kalau aku udah tidur kakak kalau mau pindah pindah aja, gak perlu temani aku sampe pagi". Ucap gue.

"Iya".

Malam itu adalah malam pertama gue tidur satu kamar dengan kak Tian setelah tinggal di rumah susun ini. Mungkin malam ini akan menjadi mimpi yang indah.

"Tidur!" Ucap kak Tian.

"Good night".

"Good night".

we got married Where stories live. Discover now