#16 adik kecil (Dey)

14 3 4
                                    

Ini sudah hampir seminggu semenjak kakek masuk rumah sakit. Dua hari yang lalu gue sempet jenguk kakek di rumah sakit. Kakek udah sadar cuman masih belum bisa bicara. Kalaupun kita ajak bicara kakek cuman bisa merespon dengan gerakan tubuh. Walaupun begitu setidaknya itu bikin gue lega karena tau kondisi kakek yang semakin membaik. Setelah itu gue gak dapat kabar apa-apa tentang kakek dari mamah.

Sekarang gue sama kak Tian sama-sama punya kesibukan sendiri. Gue sama kak Tian udah jarang berinteraksi setelah pulang dari danau. Gue juga jadi merasa canggung kalau mau ngobrol sama kak Tian. Kalau pun ngobrol paling cuman sekedar nanya hari ini mau makan apa? Setelah itu gak ada obrolan lagi di antara kita. Gue denger kak Tian sekarang sudah diterima ngajar di sebuah tempat bimbel yang jaraknya hanya lima meter dari rumah. Gue juga sekarang punya pekerjaan sebagai tukang jahit.

Fyi, gue dulu pernah kursus menjahit waktu SMP tapi berhenti karena gak ada uang buat ngelanjutin. Jadi gue setidaknya tau sedikit sedikit soal menjahit. Bukan cuman jahit baju, gue juga diajarin cara menjahit beberapa barang seperti sepatu, tas, dan masih banyak lagi.

Hari ini Jevan dan Juna lagi mampir ke rumah. Mereka tengah asyik main pees di ruang tamu. Sedangkan gue lagi sibuk memodifikasi barang-barang bekas yang mau gue jual. Gue baru aja dikasih mesin jahit peninggalan almarhumah nenek yang ada di kamar kakek. Gue ambil mesin jahit itu dua hari yang lalu setelah jenguk kakek dari rumah sakit.

Karena rumah gue kecil jadi suara mereka masih bisa kedengeran dengan jelas sampe kamar.

"Bang, sebenarnya Lo anggap kak dey itu apa sih? Kok bisa-bisanya kalian nikah tapi malah pisah kamar?" Tanya Juna.

"Buat gue Dey itu seorang adik kecil". Jawab Tian.

Adik kecil?

"Terus kenapa Lo mau nikah sama dia?" Tanya Jevan.

"Lo kan tau sendiri jawabannya". Jawab kak Tian.

Memang sampai saat ini gue masih belum ada perasaan apa-apa ke kak Tian selain kagum. Tapi entah kenapa gue ngerasa sakit dan kecewa mendengar perkataan kak Tian barusan. Ya wajar aja sih gue kan istrinya. Istri yang sudah sah dinikahi secara agama dan hukum. Gue juga bukan anak kecil seperti yang kak Tian bilang. Gue udah dewasa. Gue bisa buktiin hal itu.

Gue keluar kamar sebentar. Gue pura-pura ambil minum ke dapur. Gue juga pura-pura gak dengar percakapan mereka barusan. Setelah itu gue kembali lagi masuk ke kamar dan melanjutkan aktivitas gue.

Gue sadar tadi gue sempat menjadi atensi Juna dan juga Jevan waktu gue keluar.

Semua ingatan romantis mulai dari kak Tian yang memeluk gue waktu kakek masuk ruang UGD sampe di danau waktu itu sekarang udah gak ada artinya lagi buat gue. Gue kecewa berat. Bagaimana bisa seorang istri hanya dianggap adik oleh suaminya sendiri? Mau nangis pun udah gak bisa. Air mata gue sudah dihabiskan di depan UGD kemarin. Sekarang yang bisa gue lakukan hanyalah tersenyum dengan penuh luka.

Barang-barang yang gue modifikasi pun selesai dan siap untuk dijual di online shop. Barang-barang itu tertata dengan rapih di lantai dan siap untuk di foto. Gue memotret semua barang-barang itu dengan kamera handphone dan pencahayaan yang seadanya. Mulai dari sepatu, pakaian, jaket, dan sweater Hoodie di potret dengan sempurna.

Ting Tong.

Suara pintu bel rumah berbunyi. Gue keluar kamar sebentar buat buka pintu tapi gue sudah mendapati kak Tian yang membukakan pintu. Disitu ada seorang perempuan memakai jaket berwarna kuning dan helm putih dengan membawa dua kantong keresek besar bertuliskan merek makanan terkenal. Kemudian kak Tian memberikan sejumlah uang pada perempuan itu.

Tadi gue sempat pesen pizza dan satu ember ayam lewat aplikasi. Sekarang kedua makanan itu nampaknya sudah datang. Bukan hanya makanan, tetapi ada juga beberapa kaleng merek minuman terkenal yang kita pesan. Gue ikut bergabung sama mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Ruang tamu yang dulunya kosong sekarang sudah terisi sofa berwarna hitam, satu buah meja dengan nuansa putih, sebuah tv dengan ukuran 20 inch yang dibawahnya diletakkan satu CD player dan dua stik pees yang diambil dari rumah kak Tian.

Kita menyantap pizza dan ayam goreng itu sembari menonton sebuah film dari tv dengan duduk melingkar di bawah sofa yang bersandar ke tembok.

"Kak, Lo kenapa dah?" Tanya Jevan yang menatap gue dengan penuh keheranan.

"Gapapa". Jawab gue sambil melihat ke arah tv.

Jevan, Juna, dan Tian saling menatap satu sama lain. Mereka juga menatap gue dengan keheranan. Gue yang merasa risih dengan hal itu pun memutuskan buat balik ke kamar. Gue menutup pintu kamar cukup keras. Gue juga mengunci pintu kamar.

"Dia kenapa?" Tanya Jevan yang masih bisa gue dengar.

Gue berbaring di atas kasur. Gue menutupi badan dengan selimut. Barang-barang yang masih berserakan di lantai gue biarkan tetap begitu. Gue lagi gak mau di ganggu siapapun.

"Dey, Lo kenapa?" Tanya kak Tian dari luar kamar. Kak Tian mengetuk pintu kamar gue berkali-kali. Gue lagi gak mau di ganggu siapa pun. Gue butuh waktu untuk sendiri. Gue pura-pura tidur biar gak buka pintu kamar.

Gak lama suara ketukan pintu itu tidak terdengar lagi. Kayaknya kak Tian udah pergi.

 Kayaknya kak Tian udah pergi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gue gak jawab pesan itu. Gue emang sengaja gak mau jawab. Semua perhatian itu udah gak ada artinya lagi buat gue. Cukup dengan rasa sakit yang udah Lo kasih buat gue. Gue nangis sejadi-jadinya disitu.

we got married Where stories live. Discover now