#31 pengakuan (Tian)

13 3 4
                                    

Gue mendapati Dey dan bos gue tengah berduaan di gang kecil itu. Yuda menarik paksa Dey untuk masuk ke dalam kafe. Gue ikutin mereka masuk ke dalam kafe. Dari kejauhan mereka nampak akrab. Gue curiga mereka ada hubungan. Entahlah kenapa gue malah cemburu liat Dey sama cowok lain.

Dibilang suka? Mungkin iya. Gue udah mulai suka sama Dey semenjak dia minta gue buat temenin dia tidur pas pulang dari makam kakek. Cuman ya gue terlalu gengsi buat ungkapin. Dan gue juga gak yakin gue bisa bikin Dey bahagia.

Gue cuman disana sebentar. Gue udah malas ngeliat keakraban itu. Gue keluar dari area kafe lalu mengambil motor dan pergi ke rumah Jeffry.

Sesampainya gue di depan rumahnya. Gue melihat dia yang lagi asyik merokok di teras rumah dengan setelan rumahan. Kaos putih polos, dan celana pendek.

"Long time no see bro". Ucap Jeffry begitu gue datang di rumahnya.

Kami berpelukan layaknya seorang saudara yang udah bertahun-tahun gak ketemu. Padahal terakhir kali gue ketemu sama dia itu pas tahlilan tujuh hari nya kakek. Tapi setelah itu kita memang udah mulai jarang ketemu juga sih. Gue udah mulai sibuk dengan pekerjaan gue sebagai guru bimbel, dan dia juga udah mulai sibuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi tahun depan. Kami cuman ngobrol lewat chat seminggu sekali itu pun jarang sampe ngobrol yang panjang lebar.

"Tumben banget lo kesini". Ucap Jeffry.

Gue ambil posisi duduk di samping Jeffry. Gue ceritain semua yang gue rasain hari ini. Termasuk perihal tadi yang gue cemburu ngeliat Dey sama Yuda di kafe.

"Lo cemburu?" Celetuk Jeffry sambil geplak paha gue.

"Sakit, woy". Ucap gue protes.

"Mungkin".

Iya mungkin. Mungkin aja gue cemburu atau semacamnya.

"Itu mah namanya lo memang cemburu". Ucap Jeffry lagi.

"Lo udah pernah bilang kalau lo suka sama dia?" Tanya Jeffry. Gue menggelengkan kepala pelan.

"Terus lo mau tau dia suka sama lo apa engga?" Ucap Jeffry. Gue mengangguk pelan.

"Gimana caranya?" Tanya gue. Jeffry terdiam sejenak.

"Oh, gampang itu mah". Ucap Jeffry.

"Lo ngaku aja ke dia kalau lo suka sama dia". Lanjut Jeffry.

Gue terdiam sejenak. Apa sebaiknya gue ngaku aja ya kalau gue suka sama dia?

"Ngaku?" Tanya gue sekali lagi. Jeffry mengangguk pelan.

"Gak ada salahnya kan? Lagian kan kalian berdua udah sah ini. Wajar lah kalo saling cemburu". Ucap Jeffry.

Benar juga sih apa yang Jeffry bilang. Kami sudah sah sebagai suami istri dan tinggal satu atap berdua. Wajar kalau kami saling cemburu satu sama lain.

Gue ada disana cukup lama. Ada tiga jam lebih kita ngobrol. Kita saling sharing keseharian masing-masing. Dia juga cerita dan memperlihatkan sebuah video berisi kekerasan yang gak sengaja dia lihat berdua sama Nova di kafe beberapa waktu yang lalu. Dia curiga ini ada hubungannya sama kasus gue.

Gue pulang ke rumah karena waktu udah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Begitu sampai di rumah gue gak melihat ada Dey. Dia belum pulang?

Gue pergi mandi sebentar setelah itu gue duduk di sofa dan menonton tv sebentar. Gak lama gue mendengar ada suara tombol pin pintu rumah. Seseorang membuka pintu rumah. Dey baru aja pulang saat itu. Wajahnya terlihat merah dan nafas nya tersengal-sengal. Gue memang gak liat ke belakang tapi gue bisa liat melalui bayangan jendela yang belum gue tutup sejak pulang tadi.

"Dari mana aja Lo baru pulang jam segini?" Tanya gue.

Gue masih ogah ngeliat wajah dia. Gue masih kesel sama apa yang gue liat tadi

"Kakak belum tidur?" Tanya Dey.

"Jangan coba mengalihkan pembicaraan!" Ucap gue tegas.

"Kak, kakak kenapa?" Tanya Dey.

"Gue tadi ngeliat Lo berduaan di kafe sama bos gue, ada hubungan apa Lo sama bos gue?" Gue balik bertanya.

"Dia bos nya kakak?" Tanya Dey. Gue mengangguk pelan.

Dey dengan nafas yang masih tersengal-sengal berusaha buat menjelaskan kalau dia sama Yuda gak ada hubungan apa-apa. Dia juga cerita kalau tadi dia ditarik paksa sama Yuda bahkan sampe di kejar-kejar sama laki-laki itu. Untung aja Yuda bos gue dan gue gak ada di situ, kalau engga mungkin keluarganya lagi tahlilan sekarang.

"Dey". Panggil gue setelah beberapa detik diam tanpa suara.

"Iya?"

"Gue suka sama Lo". Ucap gue dengan penuh kesadaran.

Iya, gue ngelakuin itu dengan penuh kesadaran. Gue gak lagi mabuk atau semacamnya. Gue sadar kalau gue memang beneran suka sama dia.

Cup.

Gue mengecup bibir Dey untuk pertama kalinya. Mata Dey terbelalak kaget, pipinya berubah merah merona. Lucu banget sih lo Dey. Bikin gue gemes pengen cium dia lagi.

"Kak?"

Cup.

Gue mengecup bibir Dey sekali lagi. Dan reaksinya masih sama seperti tadi.

Cup.

Kali ini bukan hanya sekedar kecupan biasa. Gue mencium dia dengan penuh ketulusan. Dia membalas ciuman itu dan terlihat pasrah.

Gak lama kemudian gue melepaskan ciuman itu. Gue ingat kalau hari ini udah malam dan besok gue ada janji dengan papah untuk menghadiri pertemuan itu, gue harus tidur biar gak terlambat. Selain itu gue takut benteng pertahanan gue akan hancur.

Kita memang udah suami istri sih tapi tetep aja gue masih takut ketika bayangan seorang anak kecil muncul di kepala gue. Gue takut kalau ini jadi anak nanti, gue gak bisa jadi ayah yang baik, sedangkan gue juga masih belum bisa menjadi suami yang baik buat Dey. Gue masih sering sibuk dengan urusan gue sendiri dan seringkali melupakan Dey. Gue hendak masuk ke kamar tapi gue mengurungkan niat untuk tidur karena Dey memeluk gue dari belakang dengan erat.

Gue terdiam sejenak.

"Kak". Panggil Dey.

"Aku juga suka sama kakak". Ucap Dey.

Gue gak tau dia lagi mabuk atau lagi kesurupan, atau bisa jadi dia bilang itu dengan penuh kesadaran. Pelukan itu semakin mengerat mengisyaratkan bahwa kalau dia memang bilang begitu dengan penuh kesadaran.

Cup.

Gue berbalik kemudian mencium dan menarik Dey ke dalam pelukan gue. Kemudian gue membawa Dey masuk ke dalam kamar.

Dan disinilah malam pertama kami dimulai.







we got married Where stories live. Discover now