ii. my sweatheart is so sweet

12.9K 882 132
                                    

"Ribina..." suara berat itu memanggil, berasal dari mulut pria berambut hitam legam yang duduk tepat di hadapannya dalam posisi punggung menyandar ke sofa dan sesekali menghisap cerutunya.

Amadeo Luther ada di depannya.

"Mengapa kau mengirim omong kosong ini?" tanyanya seraya mendorong surat yang sebelumnya ditulis tangan oleh Ribina dalam keadaan koyak, terobek menjadi enam bagian.

Ribina tidak langsung menjawab, jantungnya berdebar kencang dan nafasnya tercekat. Entah kenapa tubuhnya bereaksi semacam itu, membuat Ribina jadi merasa tak nyaman pada dirinya sendiri padahal seharusnya ia bersikap biasa saja. Mungkin ini reaksi alami dari tubuh Ribina yang masih mencintai Amadeo dengan sangat dalam?

"Aku akan me--nulisnya ulang." Ribina terbata di tengah namun bisa mengakhirinya dengan baik, ia memanggil pelayan yang selalu ada di sudut ruangan lalu minta di bawakan kertas juga pena.

"Aku ingin kertas dan pena."

"Baik, Nona." Pelayan wanita itu mengangguk lalu dia pergi mengambil segala hal yang diminta oleh Ribina dan gadis itu menatap kepergiannya.

"Jadi, kau mengabaikanku?" Amadeo bersuara, satu alisnya terangkat dan rahangnya mengetat. "Aku kecewa, lho."

"Tunggu sebentar, Tuan Duke." Sahut Ribina mengabaikan pertanyaan dari Amadeo, sebisa mungkin dia bersikap biasa saja walau tubuhnya terasa seperti memberi perlawanan dan kadang-kadang terlintas kalimat seperti 'cepat peluk dia!' dalam kepala Ribina.

"Tuan Duke?" hela nafas kasar Amadeo terdengar, dia mulai kehabisan kesabaran dan mematikan cerutunya lalu menatap Ribina lamat-lamat. "Ribina, ada apa ini? Kenapa kau menjadi sangat marah tiba-tiba?"

"Nona, ini yang anda minta." Sebelum Amadeo mendapat jawaban, pelayan tadi kembali dengan kertas dan pena lalu Ribina mulai duduk di lantai dan menulis diatas meja.

Amadeo berdecak. "Ribina!" dia menatap pelayan tadi dan mengusirnya melalui gerakan dagu.

Setelah si pelayan pergi, Amadeo mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala Ribina lalu mencengkram rambut gadis itu dan menariknya ke belakang sehingga wajah Ribina mendongak ke arahnya. Mereka pun bertatapan.

"Jawab aku, sayang." Pinta Amadeo, terdengar bunyi gigi-giginya bergemeletuk sedetik setelah mengatakan itu namun Ribina sama sekali tidak bergeming.

Tangan gadis itu terkepal, mulutnya ia katupkan rapat-rapat walau sampai saat ini reaksi tubuhnya seperti ingin berlari ke dalam pelukan Amadeo. Itu reaksi alami, tubuh ini milik Ribina dan Ribina yang asli mencintai Amadeo sampai mati.

"Aku..." Ribina menggantung kalimatnya, bersiap melakukan pukulan seperti yang pernah dia lakukan pada Raha.

"Membencimu." Sambung Ribina.

Dalam gerakan cepat tangannya bergerak hendak memukul Amadeo namun berhenti tepat di depan wajah gadis itu karena tubuhnya memberi reaksi berlawanan.

Melihat Ribina hendak memukulnya namun berhenti tiba-tiba, Amadeo berdecak. "Kau ingin memukul tunanganmu sendiri, Ribina?"

Ribina melihat ke arah tangannya yang bergerak sendiri dan kembali ke tempat, tangannya itu tidak bisa ia kendalikan dan menolak memukul Amadeo namun pria itu terlanjur marah.

"Kau mau memukul aku?" Tangan Amadeo yang satu lagi naik mengelus pipi Ribina, pria itu terkesan dengan keberanian si gadis namun tersenyum mengejek karena Ribina gagal merealisasikannya.

"Sayang sekali, kau ragu di tengah-tengah. Mau aku ajari?"

Ribina merasakan perasaan buruk terutama saat melihat lengkungan senyum setan itu di bibir Amadeo yang merah namun sedikit pucat. Pria itu pasti lelah karena menjalani perjalanan jauh untuk sampai ke sini dalam waktu kurang dari sehari, tidak tahu lewat jalur mana dia bisa sampai dengan cepat.

The Tales Of RibinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang