xvi. the night breeze

4.3K 463 50
                                    

"Jika ayahku tidak meninggal maka dugaanku seharusnya benar. Raha mengincar gelar Marquess yang lebih tinggi dibanding Count, karena itu dia juga mendekati Leonor dan--"

"Semua orang makan malam di tenda utama. Kau mau ikut bergabung atau kukatakan tidak enak badan?" Suara Amadeo terdengar dari depan tenda, pria itu berada di luar bersama seember air yang dipegangnya di tangan kanan.

Ribina menoleh ke arah pintu tenda, menghentikan aktivitas menyisir rambut yang dilakukannya dan beralih menghampiri Amadeo. "Apa itu wajib?"

"Tidak juga."

"Aku akan jadi bahan omongan jika tidak datang."

"Cuci wajahmu." Amadeo mengulurkan ember berisi air ke hadapan Ribina, memeganginya.

Ribina akan mencelup tangannya, tetapi ia melihat noda tanah di telapak tangan sehingga menjadi ragu. Seluruh air dalam ember akan kotor nantinya.

Amadeo mundur dua langkah lalu memberi interupsi. "Ulurkan tanganmu, kusiram airnya perlahan."

Melakukan persis seperti yang Amadeo perintahkan, kedua mata Ribina memicing penuh curiga. "Aku masih tidak mengerti kenapa kau berubah sikap. Kau mengincar sesuatu dariku?"

"Apakah salah jika seseorang ingin berubah menjadi lebih baik?" Sahut Amadeo memberi pertanyaan bukannya penjelasan.

"Tidak salah, tapi terlalu cepat berubah hanya membuat orang lain jadi tambah curiga."

Amadeo menuang air ke atas tangan Ribina sambil menjawab. "Kau tidak memohon lagi untuk cinta dan perhatianku maka sebagai hadiah kau mendapatkanku."

"APA!?" Ribina yang kala itu sedang dalam posisi agak merunduk usai membasuh wajahnya seketika mendongakan kepalanya ke atas. "Memangnya siapa orang bodoh yang akan menerima hadiah itu!?"

"Ribina." Amadeo menjawab pertanyaan kedua dari perempuan itu.

"Aku? Tidak! Aku tidak mau!" Tolak perempuan itu mentah-mentah. Ribina yang asli mungkin mau, tapi Ribina yang ini tidak.

"Walau membantah ratusan kali aku tetap bisa mendengar jantungmu berdetak hanya untukku, Ribina." Lagi-lagi sahutan Amadeo membuat Ribina melotot.

Perempuan itu berpaling wajah usai kembali berdiri tegap. "Aku tidak ingin ikut makan malam."

"Baiklah, kukatakan kau merasa kurang sehat setelah kehujanan. Masuklah ke dalam dan ini..." Tangan pria itu mengulurkan lampu minyak pada Ribina, memberikannya ke dalam genggaman perempuan itu. "Tunggulah di dalam. Aku segera kembali dengan makan malam."

Amadeo tidak bertanya lebih lanjut alasannya, dia langsung pergi begitu saja sedangkan Ribina nampak menatap kepergian pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya tersadar untuk apa melakukan hal itu lalu masuk ke tenda.

Walau statusnya mereka sama-sama seimbang karena pernah selingkuh, Ribina tidak bisa melupakan begitu saja kekerasan fisik yang sempat di dapatnya dari Amadeo terutama pukulan botol di kereta kuda waktu itu. Bekas garis samar masih terlihat di dahinya, itu permanen. Ribina bisa melihatnya dengan jelas bahkan orang lain juga bisa apabila ia menyingkap rambutnya ke belakang telinga, menunjukkan dahinya. Namun selama ini Ribina memilih untuk menyembunyikan bekas luka itu.

Bahkan bekas luka di wajahnya yang ia lukai sendiri saja tidak sejelas bekas pukulan botol kaca Amadeo.

Ribina mengepalkan tangannya, dia membenci Amadeo dan akan menghancurkannya dari dalam dengan menjadi orang kepercayaan pria itu lalu menghancurkan kepercayaan Amadeo terhadapnya dalam sekejap.

"Aku tidak berpihak pada Raha, tetapi aku setuju rencananya. Aku hanya perlu mencari tahu kelemahan Amadeo dan memberikannya pada Raha supaya tanganku ini..." Ribina memandang kedua tangannya yang masih agak basah setelah meletakkan lampu minyak di tiang gantung yang ada di dalam. "Tetap bersih."

The Tales Of RibinaWhere stories live. Discover now