21. TRANSFIGURASI RASA

99.7K 5.9K 1.2K
                                        

🥂1.6k vote and 1k comments for next chapter🥂

21. TRANSFIGURASI RASA

Dan, cara terbaik untuk tidak patah hati, adalah dengan tidak jatuh hati.

***

Hujan deras disertai suara petir yang menggelegar, belum lagi angin kencang serta kilatnya yang menyambar-nyambar tidak tentu arah, cukup mampu membuat para manusia takut untuk meninggalkan tempat tinggal mereka masing-masing.

Suara hujannya yang khas, serta bau tanah yang perlahan mulai menguar, memiliki keistimewaannya tersendiri bagi si penyukanya. Gledeknya memang terdengar bising, tapi terkadang, ada tangis seseorang yang dibantu tersamarkan olehnya. Sehingga mereka tidak perlu lagi bersusah payah untuk menahan sesak di dadanya, seperti orang menyedihkan yang menangis tanpa suara, guna menyembunyikan resahnya.

Namun, siapa sangka, di tengah ributnya suasana alam malam itu, di tambah lagi suhu udaranya yang perlahan mulai mendingin, di dalam dada sepasang anak manusia tersebut, ada sesuatu yang tidak biasa, jantung keduanya ikut pula bergemuruh hebat. Jika sekarang manusia lain kedinginan dan sedang berusaha keras mencari penghangat, gadis di sana malah kegerahan, sangking panasnya, timbul semburat merah di pipi putihnya.

"Si-siapa yang lagi nahan napas sih?! Aku napas kok dari tadi!"

Marsel tekan kuat pipi bagian dalamnya menggunakan lidah, kemudian cowok itu basahi bibir bawahnya, memberi gigitan singkat di sana upaya menahan senyum. Sedikit tergelitik ketika matanya menangkap rona merah jambu di wajah Alana. Selanjutnya, alis tebal Marsel menyatu, mimik wajah Marsel berubah, Marsel tidak terima ketika Alana menepis kasar jari telunjuknya, lalu gadis itu bersingut mundur, memberi jarak antara mereka.

"U-udah Sel." Alana terbata, memalingkan wajah ke samping, menghirup udara di sekitarnya rakus.

"Apanya yang udah?" Bertanya Marsel tidak santai. Memperhatikan lamat-lamat bagaimana kedua bahu Alana bergerak naik turun dengan tempo yang lumayan cepat karena sang empunya bernapas terburu-buru.

"Gue belum selesai, Alana. Sini deketan. Balik lagi ke tempat lo tadi."

Alana sering mengulum bibirnya gugup. Ia menggeleng kuat, lalu, entah dorongan dari mana sikap berani itu muncul. Alana tatap balik kedua bola mata hitam pekat milik Marsel. Berusaha keras menepis buncah dalam dirinya. "Udah cukup, Sel. Makasih banyak atas semua kebaikan kamu untuk aku hari ini. Makasih karena udah nolongin aku, dan terima kasih juga sudah mau repot mengobati aku."

Marsel mendengus kasar. "Enggak butuh ucapan terima kasih dari lo." Cowok itu tarik sebelah betis Alana hingga gadis itu memekik tertahan ketika tubuhnya maju mendadak, sebab tarikan kencang yang Marsel berikan sangat tiba-tiba. Sialnya lagi, jarak mereka menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

"Cukup Mars—"

"Syuut ...," Marsel letakkan jari telunjuknya di depan mulut Alana, "Lo enggak perlu malu cuman karena baru aja ketangkap basah gugup ada di dekat gue. Gue maklumin, karena setiap wanita yang ada di posisi lo, pasti bakal ngerasain hal yang sama."

Melotot mata Alana mendengar perkataan Marsel. "Siapa yang gug—awh!" Alana terpekik saat Marsel menekan kuat luka di sudut bibirnya.

"Makanya diam." Wajah Marsel maju, kembali ia berikan tiupan kecil di area bibir Alana, guna semakin gencar manjahili gadis itu. Sesekali Marsel lirik pipi Alana yang bertambah merah, tubuh Alana yang terpaku, membuat bibir Marsel berkedut menahan tawa.

MARSELANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang