Chapter 4

257 15 9
                                    

Jangan lupa di vote!
Enjoy Reading 😍
.
.
.
.
.









"Bukan ingin menjadi lebih baik dari orang lain, tapi aku hanya ingin menjadi lebih baik dari diriku yang dulu."

Malam ini, hujan dengan curah besar mengguyur sepanjang daerah Bandung hampir 2 jam lamanya. Sepanjang jalan menuju pesantren, Vania berusaha meyakinkan diri untuk belajar agama di pesantren. Rasa malas untuk melaksanakan perintah Allah masih erat menyelimutinya.

Ditambah lagi, ini baru pertama kali dirinya menginjakkan kaki di dunia pesantren. Sejak dirinya sekolah tingkat dasar, Vania selalu dimasukkan ke dalam sekolah elit dan bergengsi. Vania hanya berharap pilihan yang ia ambil ini dapat ia laksanakan dengan istiqomah. Benar adanya, ketika kita ingin hijrah dan kembali kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-Nya, ada saja keraguan dan ujian yang datang melanda. Di sinilah kita akan memilih, apakah kita akan berhenti di sini atau lanjut dengan perlahan hingga akhirnya sampai pada titik ketaatan yang istiqomah.

Sunyi dan sepi menyelimuti keduanya dalam dinginnya suasana. Tidak ada lagu, tidak ada biola, tidak ada siapapun, hanyalah suara rintik hujan yang menghadirkan kesejukan membuat Vania dan Gus Ryan memilih diam seperti telah ada kesepakatan untuk membiarkan hujan bernyanyi dalam sunyinya suasana.

Keduanya akhirnya tiba di pesantren Darul Jami'. Di sinilah pertama kalinya Vania menjejakkan kaki di pesantren Darul Jami' yang dimiliki oleh Kyai Salim Abi dari Gus Ryan. Suasana indah yang dihiasi dengan lantunan Al-Qur'an yang sedang dikumandangkan oleh para santri membawa kedamaian di hati, membuat Vania meneteskan air mata haru. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk sampai di tempat berkah seperti pesantren ini. Sebagus-bagusnya rencana manusia, rencana Allahlah yang terbaik.

Keadaan pesantren sedang sepi, karena memang santri maupun santriwati sedang menuju ke masjid untuk melaksanakan solat Isya berjamaah. Vania turun terlebih dahulu, lalu Gus Ryan menyusul.

"Saya akan membawa kamu dulu ke Ndalem."

Vania mengerutkan keningnya, "Ndalem?" beonya.

Gus Ryan tahu Vania masih belum tahu istilah-istilah yang ada di pesantren, terlihat dari kerutan di keningnya.

"Ayo."

Vania segera mengikuti langkah Gus Ryan memasuki bangunan bertingkat dua yang menjulang tinggi, tepat saat kalian baru pertama kali memasuki area pesantren. Gus Ryan nampak sangat gagah dengan sorban yang bertengger rapi di pundak kirinya. Ayolah, kali ini Vania benar-benar sudah jatuh dalam ketampanan sosok Gus Ryan.

"Assalamu'alaikum... Umma?"

Sepi sekali? Pikir Gus Ryan. Gus Ryan melangkah menuju sofa ruang utama, sedangkan Vania hanya mengikuti dari belakang sambil bibirnya tak henti-hentinya mengucapkan kagum karena saking luasnya rumah itu.

"Kamu duduk saja, saya akan mencari Umma saya dulu." Vania kembali menurut, belum sempat Gus Ryan melangkah, sosok yang dicarinya menampakkan diri terlebih dahulu.

"Loh, Ian, baru pulang nak? Abi mu dari sore nelpon kamu tapi katanya nomor mu gak aktif," Umma Halimah datang dari arah tangga dengan mengenakan mukena putih, sepertinya baru selesai solat.

Gus Ryan menjabat tangan sang Umma untuk bersalaman, sementara Vania hanya menonton interaksi dari ibu dan anak itu. Dirinya kembali teringat sang Bunda, hal semacam yang dilakukan Gus Ryan juga sering ia lakukan dulu ketika dirinya memasuki sekolah dasar. Dia akan bersalaman dan Bunda serta Ayahnya akan mencium kedua pipinya.

"Vania."

Gus Ryan yang melihat Vania diam termenung, entah apa yang perempuan itu pikirkan. Umma Halimah yang berada di sebelah Gus Ryan pun terkekeh pelan, lalu dengan perlahan tangannya menepuk pelan pundak Vania.

Mencintai Dalam Bayangan Where stories live. Discover now