Chapter 12

163 12 2
                                    

Maaf jika aku menjadi penghalang dirimu memenangkan cintanya, maaf juga kalau aku belum bisa mengikhlaskannya untukmu, dan jangan pernah salahkan cinta yang aku miliki teruntuk orang yang engkau cintai.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Pagi yang cerah, Vania sudah bersiap menuju ke kelas. Dia sudah dilengkapi dengan abaya berwarna coksu dengan warna hijab senada. Setelah menyemprotkan sedikit parfum, ia lalu berjalan keluar kamar. Mila sudah jalan duluan bersama Zahra. Jadilah dirinya sekarang berjalan sendirian di tengah koridor yang nampak ramai.

Tak jarang ada yang menyapanya dan ada juga yang usil menggodanya. Semenjak kejadian di mana ia dipanggil saat maling mangga, Vania menjadi selebritas mendadak. Lihat sekarang, dengan terang-terangan para santriwan menyapa, bahkan ada yang menatapnya penuh gembira. Vania tidak menanggapi atau sekedar menyapa balik, perempuan itu tetap berjalan angkuh dengan pandangan yang sedikit menunduk.

"Assalamu'alaikum, Vania."

Dengan tampang datarnya, Vania melihat segerombolan santriwan berdiri dihadapannya. Salah satu di antara mereka membawa kantong plastik yang Vania yakini isinya cilor. Karena tusukannya yang terlihat menyembul dari balik plastik.

Berbeda ketika meladeni Gus Ryan, Vania justru hanya menaikkan sebelah alisnya meminta penjelasan mengapa segerombolan santriwan ini menghalangi jalannya.

"Ngapunten, Vania. Kami teh cuma mau ngasi cilor ini. Diterima ya, soalnya kami teh tulus beli ini buat kamu," ujar salah satu dari santriwan.

Vania menghela nafas lalu menerima kantong plastik itu. "Makasih," ujarnya sehalus mungkin. Lalu ia berjalan meninggalkan segerombolan santriwan itu dan bergegas menuju kelasnya.

Setibanya di kelas, Vania melihat beberapa santriwati malah bergerombolan keluar.

"Loh, Mil, kok pada keluar? Emang mau kemana? Kan bentar lagi ada kelas."

"Loh, kamu nggak tau?." Vania dengan santainya menggeleng.

"Biasanya setelah libur ada dzikiran di aula. Ayo kesana, nanti bakal dapet makanan enak dari ndalem. Bi Tyas juga yang masak," ujar Mila dengan antusias. Karena jika urusan makan, apalagi yang masak adalah Bi Tyas, Mila yang akan maju paling depan untuk mengambil porsi paling banyak.

Vania mengangguk, "Eh iya, nih cilor. Gue tadi dikasi sama santriwan pas mau kesini." Ujarnya lalu menyodorkan kantung plastik yang ia bawa.

"Wahh, buat aku ini?"

"Iya."

"Terima kasih, Vania. Enak ya jadi kamu, banyak fans jadi kalau mau apa-apa tinggal minta dibelikan," ujar Mila.

"Murahan sekali, jangan asal menerima pemberian orang. Siapa tau itu sudah dijampi," cetus Zahra membuat Mila yang tadinya ingin memakan cilor pun tidak jadi.

"Beneran ini teh udah dijampi, Van?," tanya Mila menatap ragu.

"Apaan sih. Ya nggak lah! Lo nggak usah buat kesimpulan sendiri ya, Za. Nggak baik suudzon sama pemberian orang. Udah makan aja," cerca Vania.

Mila masih ragu, takut jika perkataan Zahra benar maka ia lah yang kena imbas. Vania berdecak kesal lalu merampas plastik cilor dari tangan Mila. Tanpa ragu perempuan itu lalu mengambil setusuk cilor dan memakannya di hadapan mereka berdua.

"Liat, guwe nggwak kenapa-napa," ujar Vania dengan keadaan mulut penuh. "Nih makan, nggak usah percaya sama bualan Zahra. Kolot orangnya, masa jampi-jampian masih percaya."

Mencintai Dalam Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang