Chapter 10

181 12 0
                                    

Happy Reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.












Pagi yang cerah dengan suara kicauan burung mendominasi suasana sejuk di sekitar ponpes Darul Jami’. Ponpes itu nampak sunyi karena sebagian santri sudah pulang kemarin sore. Mereka akan berlibur selama dua hari lamanya. Berbeda dengan Vania, perempuan itu malah menghabiskan harinya dengan menggulung diri di dalam selimut. Tidak ada niatan sama sekali untuk bangkit.

Di sebelahnya, Zahra sedang menulis entah apa itu. Karena Zahra berasal dari Surabaya, gadis itu memilih untuk tidak pulang karena jauh. Dan tentu dia tidak ingin melewatkan waktu untuk mencari perhatian dari Gus Ryan. Namun sepertinya kali ini gadis itu harus melakukan usaha yang lebih besar lagi. Selama kedatangan Vania, perhatian Gus Ryan dan Umma Halimah tidak lagi sepenuhnya untuk dirinya.

Bahkan untuk sekadar mengerjakan pekerjaan di Ndalem, Vania lah yang selalu dipanggil. Biasanya selalu dirinya, dan tidak akan ia biarkan santriwati lain untuk masuk ke Ndalem kecuali memang jadwal mereka.

“Assalamu’alaikum, Kak Zahra.”

Zahra mengalihkan pandangannya melihat ke arah pintu di mana Aisyah, adiknya Gus Ryan, berdiri sambil tersenyum ke arahnya.

"Wa’alaikumsalam. Masuk sini, Ning.” Aisyah mengangguk lalu berjalan mendekat ke arah Zahra.

“Mbak Vania mana ya?”

Zahra menunjuk ke sebelah tempat tidurnya di mana Vania sedang tertidur pulas, “Ngapain cari Vania, Ning?”

“Vania diminta Mas Ryan ke Ndalem, katanya ada perlu.”

Terlihat perubahan raut wajah Zahra, “Yasudah sana kamu bangunkan dia,” ujarnya cuek.
Aisyah mengangguk, “Mbak, bangun dulu, Gus Ryan manggil Mbak ke Ndalem.”

"Ngapain sih Za?”
Ujar Vania dengan malas tanpa menyadari lawan bicaranya bukanlah Zahra.

"Itu bukan aku ya, Vania.”

Vania membuka setengah matanya, “Lo siapa?”

Mendengar ucapan Vania, Zahra langsung memukul pelan lengan perempuan itu. “Astagfirullah, Vania, dia Ning Aisyah, adiknya Gus Ryan.”

Vania membulatkan matanya, ia langsung bangkit dan memperbaiki hijabnya yang berantakan karena dibawa tidur. “Maaf ya, Ning, saya nggak tahu kalau Gus Ryan punya adik.”

“Nggak apa-apa toh, Mbak. Yowes, monggo kita ke Ndalem, Gus Ryan sudah menunggu Mbak Vania.”

“Tapi saya cuci muka dulu ya, masa ke Ndalem model begini masih ileran.”

“Iya, Mbak, saya tunggu di luar.”

Setelah mencuci muka, Vania langsung mengajak Aisyah ke Ndalem. Ia langsung dibawa menuju ruang keluarga. Di sana, terdapat Umma Halimah beserta Kyai Salim. Vania dipersilahkan duduk terlebih dahulu, entah mengapa hatinya merasa tidak tenang.

“Nduk Vania sudah sarapan?” Tanya Umma Halimah memulai pembicaraan.

Vania menggeleng, “Belum, Umma.”

“Aisyah, ajak Mbak Vania sarapan.”

“Ba—“

“Eh, nggak usah, Umma, saya belum lapar,” ujar Vania berbohong, padahal sejak semalam perempuan itu belum mengisi perutnya sama sekali.

Kruk..krukk

Vania membulatkan matanya. Ucapan tidak sesuai dengan kenyataan. Terdengar suara gemuruh di perutnya membuat Vania malu setengah mati. Bahkan Aisyah yang berada di sebelah perempuan itu hampir meledakkan tawanya jika saja Gus Ryan tidak menatap tajam ke arahnya.

Mencintai Dalam Bayangan Where stories live. Discover now