Chapter 27

143 9 0
                                    

Kita tidak akan tahu dengan siapa kita berjodoh, Allah lah yang maha tahu semuanya. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya hanya bisa berdo'a agar mendapatkan yang terbaik. Dan jangan pernah memaksakan sesuatu yang memang tidak layak untuk kita miliki. Karena itu sungguh akan membuat hati mu merasakan sakit.”

Di antara pohon-pohon rindang yang tumbuh subur di tanah pesantren Darul Jami’, semilir angin menjahit keheningan. Matahari tersipu malu bersembunyi di balik awan untuk menampakkan dirinya. Di sana, terdapat sosok Vania yang tengah memandang kosong ke arah sunrise  yang terlihat begitu indah.

Setelah mandi, Vania memutuskan untuk pergi ke rooftof yang berada di asrama putri. Duduk di atas bangku kayu dengan menikmati semilir angin sejuk menjelang pagi. Memejamkan matanya guna menghilangkan beban pikiran yang membuatnya tidak tidur nyenyak semalaman. Lekat perasaan baru yang hadir dalam dirinya selama tiga bulan sejak dirinya pertama kali bertemu dengan sosok lelaki yang membuatnya jatuh cinta.

Bukan sekedar rasa suka, namun Vania sudah benar-benar jatuh dalam api asmara yang ia bangun—Gus Ryan adalah tersangka utama dalam kisahnya. Sejak mengetahui fakta menyakitkan semalam, Vania memilih mengasingkan diri dengan tidur di kamar yang terletak di lantai tiga. Asrama putri terdiri dari tiga lantai, kebetulan Vania memiliki kenalan di sana. Jadi ia meminta temannya untuk mengizinkannya bareng semalam untuk tertidur sebelum ia merasa baik-baik saja. Dirinya ingin menjernihkan kepalanya yang terasa begitu penuh. Ada banyak hal yang masuk dalam deretan kejadian di dalam hidupnya.

Samar ia dengar berita, bahwa Zahra akan di asingkan dari pesantren. Perempuan itu tidak bisa di keluarkan, karena Zahra masih memiliki waktu satu tahun untuk mengenyam pendidikan ma’had di Darul Jami’. Vania tak mampu berbuat banyak untuk membuat pembelaan semalam, dirinya terlalu dikagetkan dengan fakta bahwa Zahra rela menjadikan tubuhnya sebagai imbalan untuk mendapatkan bukti.

“Bunda… Vania harus apa?, capek banget rasanya di sini.” Vania menatap langit yang bercahaya cerah kala pagi menjelang datang. Seolah almarhum Bunda nya dapat melihat bagimana terpuruknya Vania selama tidak ada kedua orang tuanya. Vania mengusap kasar air matanya, sudah cukup ia menangis semalam bisa saja nanti dirinya nangis darah.

Vania lantas memutuskan untuk kembali menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tidak peduli jika setelah ini Mila akan marah-marah padanya karena menghilang sejak malam. Yang penting dirinya bisa menenangkan pikirannya meskipun hanya sejenak. Kakinya terus melangkah, menyusuri pintu-pintu kamar yang masih tertutup rapat. Mungkin karena ini adalah hari minggu, jadi para santriwati memilih diam di kamar mereka.

Tepat saat dirinya menginjakkan kakinya di kamar tempat ia tinggal, terlihat Mila yang tengah murung dengan menekuk kakinya sebagai tumpuan. Beberapa teman yang tinggal bersama dirinya pun seketika membelalak. Vania mengedarkan pandangannya, ia tidak melihat Zahra ada di sana. Apakah mungkin berita yang ia dengar semalam itu benar?—Vania memilih mendekat ke arah Mila.

Tangannnya terangkat menyentuh pundak gadis itu. Mila mendongak dengan mata sembab, persis saat terakhir kali Vania bertatap mata dengannya semalam. Vania membawa Mila ke dalam dekapannya, mengelus pundak gadis itu guna memberi ketenangan.

“Lo kenapa nangis?.” Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Vania.

“Ya aku hiks…khawatir sama kamu lah.” Ujar Mila, ia melepaskan diri dari dekapan Vania. Menatap Vania dengan sayu. “Zahra udah di asingkan dari pesantren. Hari ini orang tuanya bakal ke sini, Van.” Vania hanya menanggapinya dengan anggukan kepala.

“Udah, yuk kita ke masjid. Sekarang ada kajian kan?.”

Mila mengangguk, “sekalian liat Gus ya, Ning Vania?.”

“Apaan dah lo.” Vania lantas bergerak mengambil buku kitab dan catatan lengkap dengan pulpen untuk mencatat hal-hal penting nantinya. Mila terkikik geli melihat gelagat Vania yang salah tingkah. Vania menatap kesal ke arahnya, lalu berjalan terlebih dahulu meninggalkan Mila.

Mencintai Dalam Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang