sketsa

32.4K 1.7K 3
                                    

Molly meringkuk di atas kasur. Alarm dari ponselnya berbunyi. Pada minggu pagi hari ini sungguh ia hanya ingin bermalas-malasan di atas tempat tidur. Lelah dengan tugas-tugas sekolah serta pusing memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan akademiknya.

Yah lukisan!

Molly hampir saja lupa dengan persyaratan ikut eskul seni yang telah ia daftar. Dengan malas ia beranjak mengambil buku gambar dan pensilnya. Setelah kedua benda itu berada di atas kasurnya ia malah terdiam. Bingung, harus menggambar apa.

Tok Tok Tok

Sebuah ketukan pintu terdengar dan tak lama kemudian Azka menyembulkan kepalanya dibalik pintu.

''Turunlah sarapan,'' ucap Azka bernada malas.

Molly mau saja mengabaikan perkataan kakaknya itu, tetapi perutnya juga tak bisa berbohong bahwa ia tengah butuh asupan makanan.

Setelah mencuci muka Molly langsung keluar dari kamar. Tak dipungkirinya godaan untuk tidur kembali begitu besar. Ia pun melangkah terburu-buru ke lantai bawah, namun baru akan menginjak anak tangga pertama, ujung matanya menangkap sebuah objek yang lebih menarik perhatiannya.

Kaki Molly perlahan mendekati balkon yang mengarah pada balkon rumah Viko. Ia merasa sedikit getaran pada tubuhnya. Hembusan angin membuat rambutnya sedikit berantakan.

Arga.

Pria itu sedang berdiri memunggungi Molly sambil memasang earphone ditelinga dan sebuah buku yang ia baca. Tampak serius dan begitu menikmati.

Senyum langsung menyungging dibibir Molly seiring langkahnya yang semakin berada di ujung balkon rumahnya.

Ada getaran aneh yang Molly rasakan saat melihat punggung itu dari belakang. Seolah merajuk dengan berkata peluk aku. Molly segera menghilangkan pikiran 'nakal' itu dari kepalanya dengan sedikit menggeleng sambil memejamkan mata.

''Kau baik-baik saja?'' sebuah suara menyadarkan Molly.

Molly membuka matanya dan melotot. Tanpa sepatah kata pun ia langsung masuk ke dalam menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia terlalu malu dengan kondisinya tadi.

Sedang Arga hanya menghela napas panjang. Kenapa susah sekali dirinya untuk berbicara dengan Molly?

Molly menyisir rambutnya, tak biasanya ia mandi setelah sarapan begitu saja. Biasanya ia akan bermalas-malasan dulu dalam kamar hingga tubuhnya yang meminta agar dibersihkan.

Buku gambar.

Benda itu masih berada di atas kasurnya. Meminta agar coretan segera dituangkan di atasnya.

Molly menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Ia mulai membukanya dan mengambil pensil yang tak jauh dari buku gambar. Awalnya ia tak dapat ide apapun, tapi sepertinya ia sedikit terinsiprasi. Walaupun imajinasinya kali ini sungguh melibatkan perasaannya.

***

Lolita mengangkat sebelah alisnya. ''Emang hari ini ada mata pelajaran seni rupa?'' tanya Lolita melihat Molly dengan buku gambarnya.

''Tu—nggu ... untuk seni rupa semester ini bukankah membuat kerajinan?'' sela Lolita menambahkan, tanpa Molly sempat membalas.

''Bukan itu, ini persyaratan eskul seni,'' jawab Molly menyimpan buku gambarnya pada laci meja.

''Perlihatkan padaku,'' pinta Lolita hendak mengambil buku gambar itu.

Molly menahan.''Ini hanya gambar abstrak, kau tak akan suka.''

Lolita mengerutkan keningnya tak percaya, tapi kemudian berkata, ''Baiklah, aku tak suka gambar atau lukisan jika itu bukan pria tampan.''

''Apa?'' Molly terkesiap akan ucapan Lolita, namun berusaha mengontrol ekspresinya.

''Kalau itu gambar Justin Bieber atau Oh Sehun, mungkin aku akan merebut paksa darimu,'' ucap Lolita lalu terkekeh.

Molly ikut terkekeh atau lebih tepatnya berpura-pura. ''Kau tahukan itu bukan seleraku.''

''Baguslah.''

Suara bel istirahat berbunyi, menandakan waktu kebebasan sejenak bagi seluruh murid, termasuk Molly dan Lolita.

''Aku harus mengumpulkan essay ini, sampai nanti,'' pamit Lolita memegang beberapa lembar kertas.

Lolita akhirnya lenyap dari balik pintu, meninggalkan Molly yang memang sedang sendirian dalam kelas. Sepertinya teman sekelasnya sedang berkumpul di suatu tempat, seperti kantin atau di bawah pohon. Ah, masa SMA sekali.

Awalnya Molly ingin tiduran di kelas, tetapi kemudian mengingat lukisan atau lebih tepatnya sih sketsa. Entah Alvin dulu bilang di atas kanvas atau kertas, yang penting ia telah berusaha. Bahkan usahanya kali ini dihargai oleh dirinya sendiri.

Dengan langkah malas Molly berjalan menuju sekret seni yang berada tak jauh dari kelasnya, sekitar 50 meter setelah beberapa belokan.

''Permisi,'' Molly mengetuk pelan pintu sekret seni.

''Masuklah, anak baru yah? Pendaftar lain juga sedang mengumpulkan karyanya,'' ucap Kiki, ketua eskul kesenian.

Molly perlahan melepas sepatunya. Sekret seni memang sempit, jadi kursi tak digunakan. Hanya ada sebuah lemari kayu besar dan tiga buah meja, selebihnya keperluan untuk ber-seni.

''Oh kau membuatnya pada kertas gambar,'' ucap Kiki melihat buku gambar yang dipegang Molly.

''Apa itu ... masalah?'' tanya Molly takut karyanya tak diterima.

Kiki terkekeh. ''Itu bukan masalah, sebenarnya mau itu kanvas atau kertas, yang penting kau dapat menunjukkan karyamu sebagai wujud kesungguhan untuk masuk eskul ini,'' jelas Kiki.

''Oh ya beberapa juga memakai kanvas, ini.'' Kiki mengambil beberapa lukisan dan buku gambar, ''Ada beberapa pendaftar anak kelas dua, tapi kebanyakan adalah anak kelas satu,'' tambah Kiki menaruhnya di depanku.

Alvin.

Ada sebuah lukisan yang bagian ujung bawahnya bertuliskan nama Alvin. Tangan Molly terulur mengambil lukisan itu untuk melihatnya secara jelas.

Lukisan itu berkisah tentang seorang pria yang sedang menatap wanita. Hanya terlihat kepala bagian belakang pria itu, tetapi tubuh dan wajah wanita itu sungguh terlihat jelas.

''Eh, itu dari Alvin anak kelas satu, dia terlihat sangat berbakat,'' komentar Kiki lalu menatap Molly, ''Bukankah wanita dalam lukisan itu terlihat seperti dirimu?'' tanya Kiki menatap lukisan dan Molly bergantian.

Molly sendiri terkejut. Sadar bahwa wanita dalam lukisan itu seperti dirinya. Atau ada wanita lain yang memang mirip dengannya? Atau sebenarnya ia mempunyai kembaran?


***

Be My Girl, I'm Yours Be Mine?حيث تعيش القصص. اكتشف الآن