meninggalkan tak pernah jadi mudah

27.5K 1.5K 15
                                    

Molly mengetikkan sesuatu di ponselnya. Sebuah puisi yang tadi ditulisnya di sekolah, satu hari setelah ajakan Arga untuk menonton pertunjukkan musik. Entah mengapa setelah hari itu inspirasinya menjadi kembali seolah kata, diksi dan perasaannya sedang bersatu.

Aku suka, penggambaran kebahagiaan namun tak terlalu terlihat. – Kiki

Begitulah balasan pesan yang diterima Molly setelah mengirimkan puisinya via e-mail, esok harinya setelah pertemuannya dengan Arga. Senyum langsung tersungging dibibirnya dan dengan senandung kecil ia melangkah menuju kamar mandi lalu bersiap- siap ke sekolah.

Molly memasuki kelas dengan raut wajah ceria. Hari ini langit begitu cerah, awan berarak ke sana-sini, daun-daun jatuh berguguran dan Lolita yang telah duduk sambil menulis.

''Apa ada PR hari ini?'' tanya Molly meletakkan tasnya lalu duduk di samping Lolita.

''Hm,'' jawab singkat Lolita tak melirik Molly sedikitpun.

Molly mendesah lalu mulai melihat tulisan Lolita. Dan dengan helaan napas panjang ia mengeluar buku dari tasnya serta sebuah pulpen bertinta biru. Matematika, itulah pekerjaan rumah yang sedang dikerjakan—bukan dicontek Lolita entah buku siapa yang ia pinjam. Molly pun juga ikut menyalin jawaban orang lain itu.

''Tadi jawaban matematika punya siapa?'' tanya Molly ketika kelas sudah sepi. Jam istirahat.

Lolita menoleh sekilas. ''Odi, juara umum waktu kelas satu,'' katanya berusaha mengingatkan Molly.

''Benarkah? Wah hebat, kenapa semua orang punya sesuatu yang bisa dibanggakan,'' ucap Molly bertopang dagu lalu menatap langit lewat jendela lalu melanjutkan kembali kegiatan menulis—menconteknya.

''Karena setiap orang punya bakat masing-masing.''

''Entahlah, aku tidak merasa begitu, maksudnya aku tak tahu apa bakat dan minatku.''

Lolita memegang kepala Molly dan memutar ke arahnya. ''Apa puisimu sudah diterima?'' tanyanya.

Molly mengangguk. ''Tadi aku mendapat konfirmasinya.''

''Nah, berarti kau punya bakat dibidang seni dan mungkin juga penulisan, janganlah berkecil hati, aku pergi dulu,'' pamit Lolita telah selesai dan meninggalkan Molly seorang diri di kelas. Ia harus menghadiri rapat anggota mading.

Molly mencoret abstrak bagian belakang catatan buku sejarah dari pelajaran sebelumnya. Ia memikirkan perkataan Lolita tadi, walau naskah puisinya lolos, tetapi ia merasa itu tidak membuktikan bahwa dirinya berbakat. Keinginan masuk jurusan hukum memang ada, namun dengan hobinya sekarang tidak menutup kemungkinan dirinya masuk jurusan sastra.

Suasana sepi dengan suara jarum jam dinding bergerak membuat Molly terus berpikir bukan hanya masalah tadi, tetapi ia tiba-tiba teringat akan hubungannya dengan Arga. Belum semenit memikirkannya, ponselnya berbunyi menandakan sebuah pesan masuk.

Ayo kita nonton, pulang sekolah akan kujemput. – Arga

Molly tersenyum dan mulai membalas pesan itu. Setuju. Benar, saat ini ia tidak dapat mendeskripsikan apa hubungannya dengan Arga serta bagaimana itu akan berlanjut di masa depan. Sebagian dirinya ingin terus bersamanya, tetapi ada saat dimana ia ragu.

Sesuai janji Arga benar datang ke sekolah dan menjemput Molly untuk selanjutnya menuju ke salah satu pusat perbelanjaan yang lantai empatnya terdapat bioskop.

''Kau mau nonton apa?'' tanya Arga ketika sampai di tempat penjualan tiket.

''Entahlah, aku sudah lama tidak pergi nonton,'' jawab Molly bingung setelah membaca beberapa judul film.

Akhirnya Arga sendiri harus memilih film yang akan di nonton. Kali ini ber-genre komedi romantis, karena film lainnya hanya ada horor, thriller, dan fiksi ilmiah. Sama sekali bukan pilihan yang tepat untuk keduanya.

''Kenapa kau jarang keluar nonton?'' tanya Arga duduk di samping Molly.

Mereka berdua memilih tempat yang berada di tengah-tengah. Pilihan dan keadaan yang bagus.

Molly mendesah. ''Kak Azka cukup sibuk untuk kuajak, Lolita banyak tugas mading dan ... kurasa sedikit menyedihkan nonton sendiri,'' balasnya sedikit bercanda.

Arga tersenyum dan Molly dapat melihatnya di antara suasana yang remang-remang. Lampu studio memang masih menyala, tetapi cahaya tidak terang, suara trailer film di layar memecah keheningan dan kecanggungan.

''Aku siap jadi teman nontonmu,'' kata Arga berhenti lalu melirik Molly kemudian menambahkan, ''Karena aku sekarang mahasiswa, jadi punya banyak waktu dan dapat kusesuaikan, walau ... terkadang juga sibuk.''

Molly tertawa. ''Hm, enak yah jadi mahasiswa, aku tidak sabar menantikannya,'' katanya lalu kembali tertawa.

''Aku ragu kau akan menyukainya.''

''Emang kenapa?''

''Akan banyak senior yang modus aneh-aneh.''

"Aku tidak masalah, jika senior itu tampan.''

Arga hendak membalas, namun menutup mulutnya kembali tak berkata apapun serta pandangan Arga yang awalnya menatap Molly beralih ke layar yang telah memutar film dan lampu dimatikan.

Beberapa kali gelak tawa penonton terpancing termasuk Molly saat menampiilkan adegan-adegan lucu, tetapi tidak dengan Arga. Pria itu seolah tengah memikirkan hal lain.

Film selesai dengan baik. Molly begitu puas menontonnya, keputusan yang tepat menerima ajakan nonton Arga. Baru akan bangkit, tiba-tiba tangannya ditahan oleh Arga.

''Apa aku orang berharga bagimu?'' tanya Arga.

Molly menoleh. ''Kenapa kau menanyakan hal seperti ini?''

''Apa aku spesial bagimu?'' tanya Arga mengulang pertanyaannya dengan kalimat lain, tetapi dengan maksud yang sama.

''Semua orang yang datang dikehidupanku berharga, termasuk Kak Arga,'' jawab Molly klise.

Arga tersenyum begitu mendengar kata Kak Arga keluar dari mulut Molly setelah sekian lama. ''Bagaimana jika orang berharga dalam kehidupanmu meninggalkanmu?'' tanyanya menatap lekat Molly.

Molly Menghela napas berat lalu berkata, ''Apa kau akan meninggalkanku?''

''Bisa saja, lalu apakah aku bukan orang yang cocok bagimu?''

Molly terdiam. Ia merasa sesak, bukan karena tak tahu jawabannya, tetapi ia ingat betul kata-kata itu dihari Alvin menyatakan perasaannya. Kalimat yang ia ucapkan sendiri. Ah, Arga juga mendengarnya pasti ketika mengikutinya dan kini menanyakannya untuk memperjelas semuanya.

''Hm,'' balas Molly singkat berusaha menatap Arga.

Arga bangkit lalu keluar dari studio bersama penonton lain, meninggalkan Molly yang masih duduk. Ia pergi tanpa pamit atau mengatakan hal lain setelah mendengar jawaban singkat Molly.

Molly masih menatap pintu bertuliskan exit, beberapa detik lalu Arga berjalan melewatinya dengan langkah cepat. Yah, kemungkinan Arga meninggalkannya benar adanya. Ia bukan tidak percaya, hanya saja dirinya takut belum siap menerima kemungkinan itu. Dan yang menjadi pertanyaan terbesar dalam hati dan pikirannya kenapa tadi ia memberi jawaban seperti itu?

***

Be My Girl, I'm Yours Be Mine?Where stories live. Discover now