everything has changed

26.4K 1.5K 10
                                    

Kita

Dalam keramaian
Berdua kita bahagia
Lupakan risau resah
Abaikan dunia

Merpati membela langit
Awan menghilang
Siapa kau?

Alunan biola terdengar
Ciptakan damai sekaligus sesak
Siapa aku?

Kita adalah kata yang tak selesai Bertemu dalam satu dimensi
Berbagi kenangan
Sekali lagi ingin mencinta

Masih menatap layar ponsel, Molly membaca setiap kata yang dulu ia kirim kepada Kiki. Benar, puisi itu tercipta kala dirinya memikirkan tentang Arga, semua terasa indah dan bahagia. Tak pernah terlintas dipikirannya kalau perasaan itu akan pudar karena kejadian di bioskop seminggu yang lalu. Waktu yang cukup lama bagi Molly tak pernah lagi bertemu dengan Arga.

''Kau benar-benar membatalkannya?'' tanya Lolita melirik pesan yang dikirim Molly kepada Kiki.

Pesan tentang puisi yang dulu Molly kirim dan sekarang ia mau membatalkannya dengan janji akan membuat yang baru.

Molly mengangguk. ''Kurasa sudah saatnya mengakhiri semuanya,'' ujarnya tentang Arga.

''Ck, mengakhiri apa, apa kau pacaran dengan Kak Arga?'' cibir Lolita menyeruput jus jeruk yang tadi ia beli di kantin.

''Tidak, hanya saja aku ingin mengatakannya. Kau tahu pasti bukan hubunganku dengannya. Tidak jelas.''

Lolita mendengus. ''Ingin bukan keputusan yang bisa kau ambil sepihak. Meninggalkan tak pernah jadi mudah dan ditinggalkan ... hanya akan memberi luka,'' katanya sok bijak.

Hening. Setelah perkataan Lolita tadi, tak ada lagi obrolan sesudahnya. Keduanya masih ditempat semula, duduk di bawah pohon dengan sebuah bangku kayu, berada di belakang gedung laboratorium kimia. Sedang Lolita mencoba menghabiskan minumannya tanpa sedikit niat pun membaginya dengan Molly.

Molly memikirkan perkataan Lolita. Memang benar adanya, entah Arga hanya meninggalkannya di bioskop atau benar-benar pergi dari hidupnya itu sudah memberinya luka dan rasa sakit.

''Lalu apa yang harus kulakukan?'' tanya Molly memutar badannya ke samping. Matanya berkaca, tanpa mau menutupi ia menatap Lolita yang sudah memperlihatkan raut wajah khawatir sekaligus sedih.

Lolita mendekat dan memeluk Molly. ''Jujurlah, bukan kepada Kak Arga, tetapi pada hatimu sendiri.''

''Aku masih menyukainya,'' balas Molly melepas pelukan lalu duduk menghadap dan menatap ke depan. Ia sedikit menyeringai, ''Rasanya dadaku masih berdebar saat melihatnya berdiri dihadapanku, mendengar suaranya dan saat tangannya menggenggam tanganku.''

''Semua sudah jelas, bukan?'' ucap Lolita tersenyum dan Molly ikut tersenyum.

***

Molly berlari dari taksi menuju lobi sebuah hotel. Sambil terus melangkah entah sudah berapa sumpah serapah yang diucapnya dalam hati. Tiga puluh menit lalu kakaknya, Azka menyuruhnya ke sana untuk membawa dokumen yang tertinggal di rumah, karena rencananya Azka akan bertemu dengan seorang relasi tempat dirinya bekerja. Iya, Azka sudah diterima di salah satu perusahaan setelah lulus beberapa bulan yang lalu. Bahkan Molly tak sempat menghadiri acara wisudanya, kasian.

''Di sini!'' seru Azka melihat Molly celingak-celinguk memandang sekeliling lobi.

Molly berjalan ke arah Azka dengan bibir manyun. ''Kakak ini! Makanya kalau ada kebutuhan kayak gini harus dicek sebelum berangkat,'' katanya menyerahkan dokumen yang berada dalam map plastik.

''Iyah, iyah adeku sayang,'' balas Azka mengacak rambut Molly.

"Rencananya mau ketemuan dimana?'' tanya Molly berjinjit, melihat kue tart besar dan tinggi yang melintas di belakang Azka.

''Di kamar.''

''Cowok?''

''Cewek.''

''Ish, kalau gitu ketemuannya di sini aja, gak baik loh berduaan di kamar, hotel lagi.'' Molly mencubit pelan lengan kakaknya dengan gemas.

''Memang ada cewek, tapi cowok juga ada,'' ucap Azka sambil mencubit pipi Molly.

''Tau ah, terserah. Aku mau pulang, dadah.'' Belum sempat Azka memberitahukan adiknya itu hati-hati, tetapi Molly sudah berlari kecil meninggalkan lobi. Ia pun hanya menghela napas, berharap tak terjadi apa-apa.

Molly sebenarnya malas langsung pulang begitu saja. Tetapi hotel bukan tempat yang baik buat jalan-jalan apalagi bermain. You know what I mean, tidak seperti Mall atau Galeri Seni gitu. Baru keluar dari pintu utama Molly mengerutkan dahi, sepintas ia melihat sosok Arga dari balik kaca mobil yang melintas, mengarah keluar pekarangan hotel. Karena kejadiannya begitu cepat sehingga ia hanya mengedikkan bahu, lagipula kalau Arga memang ada di hotel itu, apa urusannya ?

''Molly,'' seru seseorang, sumber suaranya berasal dari belakang Molly.
Molly berbalik dan mendapati Shasa berdiri sekitar lima meter darinya.

''Kak Shasa,'' serunya balik dan melangkah lalu memeluk seniornya itu.

''Apa yang ... kau lakukan di sini?'' tanya Shasa dengan raut wajah terkejut.

Molly melepas pelukannya. ''Itu aku mengantar sesuatu kepada Kak Azka, Kakak laki-lakiku. Kak Shasa sendiri?''

Shasa terdiam sesaat dan sebuah mobil berhenti. ''Ayo, aku antar kau. Pasti naik taksi ke sini,'' katanya menarik tangan Molly masuk ke dalam sebauh mobil sedan.

Molly dan Shasa duduk di bagian belakang. Sedangkan bagian depan hanya ada supir pribadi Shasa.

''Oh ya rumahmu dimana?'' tanya Shasa menoleh.

''Berhenti saja di halte depan, aku harus ke suatu tempat,'' jawab Molly menunjuk halte. Sebenarnya ia berbohong, selain tidak mau merepotkan Shasa, ia juga belum mau pulang. Entah mengapa hatinya seolah menolak untuk cepat-cepat kembali ke rumah hari ini.

Mobil pun berhenti di depan halte bus.

''Sebenarnya aku mau ngobrol banyak sama kau, tapi sejam lagi aku ada ujian praktikum. Mungkin lain kali yah,'' ucap Shasa dengan wajah menyesal.
Molly mengangguk pelan. Tangannya lalu memegang pegangan pintu bersiap untuk keluar, namun sebelah tangannya dijegal oleh Shasa.

''Ada apa?'' tanya Molly menoleh dan melihat raut wajah Shasa yang sulit digambarkan seperti sedang bersedih, menyesal dan ah entahlah.

Shasa memeluk Molly membuat gadis yang dipeluk kebingunan. ''Arga bakal tunangan.''

Molly yang belum sempat membalas pelukan Shasa kini melepas pelukan tersebut. Ia tersenyum lalu menatap Shasa.

''Benarkah? Wah ini kabar mengejutkan,'' ucap Molly seolah-olah terkejut—salah ia memang terkejut. Sangat.

''Are you okay?''

''Hm, ini kabar gembira. Semua harus gembira bukan?'' Molly tersenyum dan Shasa tahu bahwa itu adalah senyum yang dipaksakan. Terbukti Molly meremas ujung bajunya menandakan bahwa dirinya seperti menahan sesuatu. Namun ia juga sadar bahwa sekarang ini yang dibutuhkan Molly adalah sendiri. Bahkan berkata saat ini pun mungkin sulit bagi Molly. Dan kata menenangkan, menyemangati, serta menguatkan tak ada cukup.

Shasa memegang bahu Molly. ''Jangan khawatir, kalau kau butuh seseorang. Aku akan selalu ada, hubungi aku kapan saja.''

Molly mengangguk tanpa berkata. Setelah itu keluar dari mobil dan melambaikan tangannya begitu Shasa pergi.

Semua seolah seperti hembusan angin. Kabar pertunangan Arga datang begitu saja, tanpa sempat ia halau. Molly tahu bahwa yang tadi dilihatnya di hotel adalah benar bahwa orang itu Arga. Mungkin membicarakan tentang pertunangannya. Ia duduk di halte bus, pikirannya kosong. Ini terlalu dini, dirinya belum siap. Perkataan kemarin Arga kini benar- benar terjadi. Kemungkinan Arga meninggalkannya memang ada. Ia sadar hal itu, tetapi kenapa semua harus terjadi saat dirinya sadar akan perasaan sesungguhnya dalam hatinya? Dan saat itupula Molly berharap bahwa dirinya berada di rumah sekarang, meringkuk dalam kamarnya. Meratapi hatinya yang mulai hancur bagai kepingan kaca yang pecah.

***


Be My Girl, I'm Yours Be Mine?Where stories live. Discover now