i love u to the moon and back

30.3K 1.6K 4
                                    

Pandangan Molly menjadi pusing, karena selama beberapa jam ia hanya melihat deretan buku-buku dan peta yang ada di perpustakaan. Namun, kali ini ia cukup gemetaran, bagaimana tidak? Arga ternyata mengajak Molly untuk lunch di sebuah restoran berkonsep sky lounge atau rooftop, berada di atas lantai dua puluh sebuah hotel.

''Apa kau takut ketinggian?'' tanya Arga khawatir setelah melihat gerak tubuh Molly yang gelisah.

''Mungkin karena ini pertama kalinya,'' jawab Molly mencoba tenang.

Mereka berdua memang tidak berada di luar ruangan karena masih siang jadi sinar matahari akan langsung menembus ke kulit mereka, tetapi kaca sebagai dinding yang mengelilingi restoran sehingga kota dapat terlihat dari sana.

''Apa kita ke tempat lain saja?'' tanya Arga bangkit, namun tangannya ditahan Molly.

''Tidak apa-apa, aku malah penasaran bagaimana tempat ini saat malam hari, pasti lampu-lampu di sepanjang kota akan terlihat indah,'' balas Molly kini malah melihat pemandangan kota di bawah langit biru yang cerah.

"Kalau kau mau, kita bisa datang ke sini pada malam hari,'' ucap Arga lembut diakhiri senyuman.

Makan siang di atas ketinggian itu menjadikan Molly dan Arga kembali dekat. Dalam artian mereka dapat mengobrol satu sama lain lagi, walau belum sampai pada pembicaraan mengenai hubungan keduanya.

''Jadi apa kabar dengan Kak Azka?'' tanya Arga menyesap kopi hitam yang ia pesan setelah lunch tadi. Ia seperti mengulur waktu. Dan Molly kini telah dibelikan satu cup besar es krim cokelat, masih di tempat yang sama.

''Dia baik, seperti terakhir kali kau bertemu dengannya di depan rumah.''

Jam telah menunjukkan pukul tiga sore, udara di restoran sudah tidak begitu panas dan beberapa tamu yang baru datang sudah bisa duduk di area luar. Membuat Molly sedikit envy, setidaknya ia dan Arga datang lebih lama mungkin mereka bisa menikmati udara di sana. Atau mungkin  hanya teringat kenangan masa lalu.

''JIka kau mau, kita bisa ke sini lagi. Itu pun kalau kau mau,'' tawar Arga sadar akan tatapan Molly.

Molly tersenyum salah tingkah, setahu inikah Arga akan dirinya? Tanpa kata ia hanya mengangguk pelan dan Arga tersenyum senang.

Molly melambaikan tangan sambil tersenyum setelah Arga mengantarnya pulang. Rasanya senang bisa bertemu lagi dengan orang yang dulu membuat jantungnya berdebar dan hari ini masih begitu. Baru Molly akan membuka pintu rumah suara seseorang yang menyerukan namanya muncul.

''Molly!''

Alvin datang dengan motor ninja berwarna hitam. Tanpa turun dari motor ia memperlihatkan satu helm kepada Molly yang masih mencerna kedatangan dirinya.

Janji

Tanpa membalas, Molly hanya berjalan menuju arah Alvin. Merebut helm dari tangan Alvin dengan kasar dan langsung naik ke motor. Alvin cukup terkejut dengan tanggapan Molly, namun memilih diam. Sepertinya kakak kelasnya itu tidak sedang dalam mood yang baik.

Suara hantaman ombak di pembatas jalan, sorot cahaya matahari sore dan pemandangan orang lalu-lalang membuat Molly menaikkan kaca helm-nya seiring kecepatan motor Alvin yang semakin diturunkan.

Motor berhenti tepat pada sebuah gedung berlantai dua, tidak terlalu besar. Berada cukup dekat dengan pantai sehingga mungkin dari lantai dua pemandangan panorama pantai pasti menakjubkan. Memikirkan hal tersebut senyum kembali menghiasi wajah Molly dan Alvin ikut tersenyum melihatnya.

''Ayo masuk,'' ajak Alvin menarik tangan Molly.

Di dalam gedung berwarna putih dari luar, hampir tak ada perabotan rumah pada umumnya, hanya ada bangku setiap jengkal beberapa meter dan lukisan.

''Apa ini pameran?'' tanya Molly memerhatikan beberapa lukisan terpajang di dinding gedung dengan lampu masih-masing di atasnya.

Alvin tak menjawab, menuntun Molly memerhatikan setiap lukisan yang ada.

''Anak eskul seni harusnya suka dong hal-hal begini,'' ucap Alvin melihat sebuah lukisan sepasang angsa.

''Suka musik tak harus menonton konser bukan?'' balas Molly memberikan perumpamaan lain.

Kaki Molly menaiki tangga dengan setiap anak tangganya dilukis dengan berbagai macam warna. Alvin mengikuti di belakangnya, memasang wajah dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan. Pada lantai dua lukisan rata-rata lebih terkesan abstrak dengan jumlah lebih sedikit.
Bukan lukisan yang dihampiri Molly, melainkan sebuah balkon yang berada diujung lorong pada lantai dua tersebut, masih dengan Alvin dengan setia mengikuti.

''Bukankah ini sangat indah?'' tanya Molly tak henti-hentinya tersenyum.

''Warna perpaduan langit dengan matahari yang akan terbenam ditambah birunya air laut,'' lanjut Molly kini beralih menatap Alvin.

Molly menaikkan satu alisnya. ''Ada apa? Kau boleh lihat-lihat lukisan, aku ingin tetap di sini.''

''Bukan begitu,'' kata Alvin, ''Ada yang ingin aku katakan.''

''Apa?'' tanya Molly beralih menatap pantai di depannya.

''Sebenarnya aku sendiri tidak yakin, tapi memikirkan hal ini selama beberapa hari aku rasa harus kukatakan, walau mungkin kau mungkin tak suka dengan apa yang akan kau dengar—''

''Aduh kau ini berbelit-belit sekali, sebenarnya kau mau katakan apa?'' potong Molly merasa Alvin terlalu bertele-tele.

''Sepertinya aku suka sama senior.''
Satu kalimat akhirnya diucapkan Alvin.

Satu kalimat akhirnya membuat Molly terkejut. Keduanya diam, Molly berusaha menstabilkan pikirannya dan Alvin butuh bantal untuk menyembunyikan wajahnya. Malu rasanya menyatakan perasaannya dengan cara yang sangat tidak elegan. Bagi Alvin setidaknya ia menyiapkan bunga, boneka beruang atau cokelat, tetapi mengingat Molly seperti tidak suka hal-hal begitu, jadi ia memutuskan menggunakan cara klasik ala ftv di televisi.

''Gak usah bercanda deh,'' tukas Molly kembali memasang ekspresi tenang.

''Kalau ini bukan candaan, apa yang akan kau lakukan?'' Alvin memutar badan Molly menghadapnya.

''Kau mau apa? Menerimamu? atau menolakmu?'' kini Molly tersenyum menggoda.

''Aku mau kejujuran, selama mengenalku apa tidak ada sedikitpun aku di hatimu?''

Molly mengalihkan pandangannya. ''Aku tak pernah menganggapmu lebih dari sekedar teman sekaligus juniorku.''

Alvin menghela napas lalu tersenyum getir. ''Apa karena Kak Arga?''

"Bukan, aku hanya merasa belum menemukan orang yang cocok, tidak juga dia.''

Molly menatap Alvin yang mukanya merah padam. Terlihat lucu baginya. Bagaimana pun menyatakan perasaan takkan pernah mudah, apalagi memendamnya.

Pameran lukisan itu berakhir dengan pengakuan yang berujung penolakan. Alvin tetap mengantar Molly pulang hari itu, walau tak pernah ada obrolan sepanjang jalan bahkan hingga Molly menghilang dari balik pintu rumah.

Dilain sisi, seorang pria duduk dengan wajah datar di dalam mobil. Sedaritadi ia menatap sebuah rumah yang sejam yang lalu dimasuki oleh gadis yang selama pagi hingga sore bersamanya.

***

Be My Girl, I'm Yours Be Mine?Where stories live. Discover now