something about you

30.3K 1.7K 7
                                    

Kertas berserakan dimana-mana, dengan kaki bersilah Molly menulis di atas benda putih itu dengan pensil lalu membaca berulang-ulang tulisannya sendiri dan berakhir pada tempat sampah plastik dekat pintu kamarnya untuk kesekian kalinya. Sudah beberapa puisi dia coba buat, bahkan dengan percaya diri meminta Azka untuk membaca dan menilainya. Tetapi bahkan kakak laki-lakinya yang tidak begitu mengerti sastra bisa memberikan penilaian bahwa puisinya masih perlu perbaikan.

Molly pikir dengan sedikit ketenangan, kenangan dan rasa maka puisi akan tercipta. Ia ingat ketika sedih maka akan langsung menulis semacam rangkaian kata di sosial medianya. Ketenangan dan kenangan bisa ia peroleh, namun rasa mungkin sedang tidak bersama dirinya sekarang. Hari ini.

Pentas seni akan diadakan seminggu setelah ujian semester yang berarti sekitar satu bulan lagi. Walau ini bukan semacam lomba yang menuntut suatu pertunjukkan yang sempurna, namun eskul kesenian tetap giat dan serius dalam mempersembahkannya.

Keesokan harinya Molly langsung menyerahkan puisinya kepada Kiki selaku koordinator acara. Tetapi ia harus kecewa karena harus merevisi kembali puisinya. Padahal menurut Molly puisinya cukup bagus, setidaknya ia mengingat bagaimana harus begadang untuk menulisnya berulang-ulang.

''Masih ditolak?'' tebak Lolita melihat raut wajah murung Molly memasuki kelas.

Molly mendesah. ''Kukira setelah aku bergabung eskul ini maka tidak perlu terlalu banyak berpikir,'' katanya duduk di sebelah Lolita.

Lolita terkekeh. ''Membuat rangkaian kata-kata satu—dua lembar saja kau sudah lelah, bagaimana aku yang setiap beberapa minggu mendapat giliran bertanggung jawab untuk seluruh isi mading,'' katanya bangkit lalu menepuk bahu Molly dan berkata, ''Semangatlah, dan coba cari hiburan yang bisa menyegarkan pikiranmu.''

Seusai menyemangati Lolita langsung keluar dari kelas. Meninggalkan Molly yang bertopang dagu sambil berpikir mengenai perkataan terakhir Lolita.

***

Molly benar-benar tidak bisa berpikir saat ini. Sepulang sekolah ia tidak langsung ke rumah, tetapi memilih berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Baru menemukan dirinya sampai di depan toko, ia ragu apakah harus masuk atau tidak.

Beberapa hari lalu baru saja ia dan Arga ke sana dan inspirasinya tak mengalami banyak perkembangan.
Akhirnya Molly tidak jadi masuk ke toko buku. Ia lebih memilih masuk ke toko baju, sepatu dan aksesoris. Sebuah bando hitam jadi dibelinya.

Acara penyegaran pikiran lalu berubah menjadi acara berbelanja ketika tersadar bahwa ia juga membeli gelang dan jepitan rambut. Tak sampai disitu, ia juga mengunjungi toko yang menjual alat make up. Baru akan mencoba sebuah liptint, tetapi ponselnya bergetar sebentar. Tanda ada pesan masuk.

Dahi Molly berkerut, tak mengenali nomor atau telah dihapusnya yang mengirim pesan yang menanyakan posisi dirinya sekarang. Tanpa menunggu lama ia mengetikkan balasan lalu melanjutkan acara lihat-lihatnya. Ponselnya kembali bergetar dan tak lama kemudian setelah membacanya ia langsung meninggalkan toko itu bahkan keluar dari pusat perbelanjaan.

Molly berjalan menelusuri gedung-gedung di sepanjang jalan hingga di ujung seorang pria berdiri di samping mobil sambil melempar senyum.

''Kau di sini?'' kata Molly telah berdiri dihadapan pria itu, Arga.

Arga mengulum senyum. ''Aku dalam perjalanan pulang dari kuliah dan...,'' ia berhenti lalu menatap dalam Molly, ''Memikirkanmu.''

Wajah Molly memanas. Ia bingung harus membalas apa, rasanya seperti mengulang masa lalu. Iya, ia sadar akan hal itu. Tetapi mereka sekarang benar-benar asing bukan?

Mata Arga yang tadi mengikuti lekungan bibirnya berubah menyipit. ''Kau sudah makan?'' tanya Arga menyadari sesuatu yang salah setelah memerhatikan Molly secara keseluruhan. Kepala ke kaki.

''Emh ... itu, belum,'' jawab Molly mengingat, ''Tapi aku sarapan tadi pagi,'' tambahnya menjelaskan setelah tatapan Arga berubah.

''Kau terlihat kurus dan pucat, apa makanmu teratur?'' tanya Arga seperti Ibu-ibu yang memerhatikan anaknya.

Molly mengalihkan pandangannya dan membalas, ''Aku akhir-akhir ini, sedang tidak nafsu makan,'' jelasnya mengayung-ayungkan tangannya seperti sedang menjelaskan dalam sebuah presentasi.

''Aku mengerti,'' ucap Arga lalu menarik tangan Molly masuk ke dalam mobil, kursi depan.

''Kita mau ke mana?'' tanya Molly bingung.

Arga mendekatkan dirinya. ''Memberimu gizi,'' balasnya lalu memasang sabuk pengaman pada Molly.

Jarak wajah yang sangat dekat membuat Molly menahan napas untuk sesaat dan Arga sendiri seolah memperlambat gerakannya.

Wajah Molly memerah bahkan setelah Arga kembali ke posisi semula dan mulai menjalankan mobil. Tak ingin berada dalam situasi canggung, ia lalu menekan radio untuk mendengarkan musik. Dan itu bukan pilihan yang baik, karena lagu Marry You milik Bruno Mars langsung mengalun indah. Memperparah situasi dan kondisi saat ini.

Mobil berhenti di halaman parkir sebuah restoran. Bukan restoran biasa, tetapi tergolong mewah. Awalnya Molly menolak dengan alasan mungkin uangnya tak cukup, tetapi Arga berkata akan mentraktirnya. Perdebatan cukup panjang hingga Arga melakukan tindakan yang sedikit memaksa dengan mengecup singkat pipi Molly.

Molly mengiris steak milikny dengan tergesa-gesa, wajahnya masih memerah akibat tindakan Arga tadi. Ia bahkan tak mengalihkan pandangannya dari makanannya, tak berani menatap Arga. Ia bingung, kemarin-kemarin sikap Arga biasa saja, maksudnya layaknya seperti seorang teman, tetapi hari ini berubah menjadi dirinya yang dulu.

''Kau tak makan dengan baik karena pernyataan Alvin?'' tanya Arga setelah puas melihat Molly makan, Ia sendiri hanya memesan minuman.

Molly menegang, sedang memikirkan bagaimana Arga tahu tentang hal itu. Ia memang bersama Arga hari itu, tetapi pergi bersama Alvin setelah Arga pulang atau pria itu....
''Benar, aku mengikutimu dan mendengar semuanya,'' tambah Arga seolah tahu isi pikiran Molly.

''Bukan karena itu, aku sedang pusing memikirkan puisi yang harus kuserahkan dan ... aku makan dengan baik,'' balas Molly mencoba tenang.
Arga menghela napas sedikit lega.

''Aku senang mendengarnya bahwa kau menolaknya,'' katanya jujur.
Molly mendongak menatap Arga.

''Dia pria yang baik.''

''Aku tahu, bagaimana pun dia sepupuku. Aku cukup mengenalnya dengan baik.''

"Lalu aku, bagaimana menurutmu?''

Molly terdiam sejenak. ''Kau pria baik, sedikit pemaksa sih, dermawan dengan mentraktirku, cukup romantis eumh....'' ia berhenti pura-pura berpikir lalu melanjutkan, ''Kurasa obrolan berat hari ini cukup,'' kata Molly lalu tersenyum.

Arga mengangguk pelan. Walau dalam perkataannya tadi mengandung sedikit candaan, setidaknya Molly mau jujur padanya. Namun masih ada satu hal yang tak membuatnya yakin, terkait perkataan terakhirnya terhadap Alvin beberapa hari lalu.

''Aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat,'' ucap Arga setelah mereka berada di dalam mobil.

''Toko buku?'' tebak Molly dan Arga menggeleng.

Molly menghela napas lega. "Baguslah, aku sedang tak ingin melihat buku-buku hari ini.''

"Sebuah tempat agak gelap, namun bersuara,'' balas Arga misterius.

Sepanjang jalan Molly terus bertanya karena penasaran. Clue yang diberikan Arga mengarahkannya pada bioskop. Tetapi pria itu menggeleng sambil tersenyum. Semua tanda tanya yang ada dikepala Molly akhirnya terjawab saat Arga menggenggam tangannya masuk ke sebuah pertunjukan musik.

Sebuah pertunjukkan yang menampilkan seorang pianis terkenal dan membawakan beberapa macam lagu karya mahestro terkenal. Arga melirik Molly yang terlihat menikmati alunan dari nada yang tercipta oleh tuts-tuts piano ketika ditekan. Ia terus menggenggam tangan gadis itu dan tak ada penolakan. Hatinya bergejolak, hingga kepala Molly terjatuh dibahunya. Gadis itu tertidur, salah satu alasan mengapa Arga membawanya ke pertunjukkan itu melihat bahwa Molly butuh rileks dan istirahat. Dan ia senang hal itu berhasil.

***

Be My Girl, I'm Yours Be Mine?Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ