1. Kemarahan

22.9K 2.3K 175
                                    

rafan pov

Aku mendengus dalam-dalam. Sekali dua kali, aku tak menyadarinya. Dan aku juga tak menghitungnya. Buat apa? Namun aku yakin dengusanku sudah terlalu banyak hingga Ayah menoleh terganggu.

What? Kalau boleh, aku bisa mengekspresikan kemarahanku dengan hal lebih bermutu. Tapi aku tahu itu hanya akan membuat ayah kesal. Dan membuat ayah kesal bukanlah hal yang bagus. Karena ayah sangat menakutkan! Bukan dalam konteks kasar dengan bentakan, atau menghajar anak dibawah umur seperti di berita-berita TV. Ayah begitu menakutkan karena selalu bisa menemukan cara untuk membuatku patuh dan menuruti semua keinginannya.

Termasuk sekarang. Masuk ke sekolah yang tak aku suka.

"Kenapa?" tanya Ayah.

Aku malas menjawab pertanyaan itu. Karena aku yakin ayah tahu persis jawabannya. Aku begitu marah, namun aku hanya bisa mendengus sekali lagi lalu melempar tatapanku ke arah jalan.

Mobil berhenti. Aku bisa melihat lampu merah di depan. Banyak pedagang asongan dan pengamen yang menghambur ke jalanan. Dan saat salah satunya menghampiri mobilku, aku langsung menatapnya tajam-tajam, meluapkan amarahku yang terpendam sejak tadi.

Dan lak-laki lusuh itu mengkeret ketakutan, lalu pergi mencari mobil lain.

Tiba-tiba, Ayah ikut mendengus. Aku tak menoleh. Tak berusaha mencari tahu atau penasaran. Karena aku yakin, ayah mendengus melihat sikapku. Untungnya ayah tak mengatakan apa-apa.

Mobil melaju lagi karena lampu sudah berubah warna. Aku masih sibuk melihat jalanan dan terdiam. Begitu membosankan.

Aku bosan terdiam sambil membayangkan hari-hari kedepan yang penuh dengan kehati-hatian. Siapa yang senang hidup dengan hati-hati? Tidak ada. Aku ingin hidup bebas melakukan apapun yang aku suka. Bebas menentukan pilihan. Sama seperti tiga tahunku di SMP. Masa-masa penuh kebebasan.

Tapi sayangnya ayahku tak sependapat. Ayah tak mengijinkanku terlalu bersenang-senang. Aku pernah terlibat beberapa masalah dan hampir dikeluarkan. Hanya karena masalah sepele seperti berkelahi.

Anak laki-laki selalu berkelahi. Semua teman-temanku melakukan itu. Tapi kewajaran menurut pendapatku berbeda sepenuhnya dengan kewajaran dimata keluargaku.

Kewajaran yang mereka selalu ajarkan adalah pintar mengontrol emosi, menahan diri dan juga bersikap tenang setiap menghadapi masalah.

Cih! Siapa anak sekolah yang bisa melakukan itu? Ah, ya aku lupa. Kedua kakakku!

---

Aku menghela nafas melihat gerbang sekolahku yang baru. Mendengus lagi berkali-kali hingga bosan.

Bisakah aku melarikan diri sekarang? Jujur saja aku tidak selera masuk ke sana. Aku lebih memilih masuk ke SMA yang bobrok, hancur bangunannya, atau sekolah yang berada di daerah terpencil dari pada masuk sekolah megah itu.

Megah, tapi di mataku itu gerbang penjara. Sekali aku masuk ke sana aku akan jadi tahanan sampai aku pulang ke rumah.

Dan aku mendengus lagi. Hingga ayahku terdengar bosan.

"Masuk," katanya.

Aku menoleh ke belakang. Kulihat Ayah masih menumpukan tangan di atas setir, dan matanya tetap mengawasiku.

"Rafan akan masuk." kataku tegas.

Ayah mengangguk tenang. "Bagus."

Aku mendesis-desis emosi. "Ayah ... " kataku lelah. "Ayah sudah bisa pergi sekarang."

Ayah mengangguk lagi. "Oke." katanya santai. Tapi mobil tidak beranjak ke mana-mana. Tetap diam di sana.

Terkadang, Ayah bisa membuatku kesal dengan cara yang sesederhana itu.

Menyerah, akhirnya aku memaksakan diri menyeret kakiku masuk ke dalam. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menurut.

Satu, dua, tiga, empat ... aku menghitung dalam hati. Setiap langkah yang terasa berat. Setiap keinginan yang terpaksa hilang. Setiap pemaksaan yang dijejal padaku. mengingatnya hanya akan membuatku semakin marah.

Aku masih bisa merasakan amarah yang merayap dan mengambang di dalam diriku. Meliar ingin dilampiaskan. Menunggu saat yang tepat untuk meledak.

Sampai hitunganku sampai ke angka dua puluh, aku berhenti. Dan aku menoleh ke belakang.

Aku tersenyum tipis menyadari mobil Ayah sudah tak ada. Istilah 'penjagaan' yang dipakai bunda akan aku tolak mentah-mentah. Siapa yang butuh di jaga? Aku bisa menjaga diriku sendiri.

Namun saat aku menoleh ke dalam sekolah, seketika senyumku lenyap. Dan lagi-lagi, aku menghela nafas. Ayah pergi, kedua kakakku menunggu. Sial. Aku yakin dua tahun kedepan sekolah ini akan seperti neraka.

Aku tahu moodku hancur. Aku siap meledak dan sadar dalam emosi yang berbahaya. Aku mencoba untuk mengghindari orang. Aku tak ingin tersenggol sedikit saja karena aku bisa menghajar siapapun yang berani menyentuhku!

Baru saja berpikir begitu seseorang menabrakku. Benar-benar menabrakku dari belakang hingga aku terdorong hampir tersungkur. Thanks, akhirnya setan itu bisa keluar. Aku meledak!

"Sory, sory aku ...." suara anak perempuan. Dan dia pikir aku peduli? Aku menoleh dengan kemarahan yang meluap. Kutatap dia dengan mata yang menyipit nyaris segaris.

Dia mengkeret ketakutan melihat kemarahanku sedangkan aku .... aku ingin marah, aku ingin meledak, aku ingin berteriak. Tapi itu hanyalah keinginan semata. Karena pada kenyataannya adalah, aku membeku.

Kenapa di dalam neraka ada malaikat?

It (Rafan)Where stories live. Discover now