19. Menunggu

3.3K 572 66
                                    

thanks ya buat vote n commentnya :) sori lama.

-------------

"Jadi, hari ini mau pergi sama si itu?" tanya adhiaksa.

"Rafan, yah. Namanya Rafan." seru Diya dari ruang laundry.

"Ya itulah."balas ayahnya malas.

Diya memasukkan baju-baju yang sudah di bilas ke pengering mesin cuci. Setelah di tutup, dia putar panel hingga suara mengerung terdengar. Baru setelah itu dia keluar ruang laundry dan menghampiri ayahnya yang sedang memangkas rumput halaman taman samping.

Diya pikir hubungan ayahnya dan Rafan agak meningkat setelah ayahnya mengijinkan Rafan mengantarnya kemarin. Meskipun dengan terpaksa, tapi setidaknya ayahnya sudah melonggar, tidak seketat di awal.

"Cuma sebentar. Diya janji pulang sebelum malam. Boleh ya Yah?"

"Itu nggak sebentar. Dari jam 8 sampai sore itu lama!"

Diya cemberut. Dia mengambil mangkuk plastik yang berisi air beras di teras samping lalu dia siram ke tanaman anggrek koleksinya. Pembahasan ini tidak akan selesai-selesai. Rafan akan datang jam 8, tapi Diya sampai sekarang masih belum mendapatkan ijin ayahnya keluar. Padahal sekarang sudah jam 6 pagi.

Setelah pot terakhir selesai, Diya menghampiri Ari yang sedang mengelap kaca geser pintu yang mengarah taman samping.

"Mau mba beliin Pizza?" bisik Diya pada Ari.

"Mau." jawab Ari langsung.

"Tapi bantuin bujukin ayah biar mba bisa main hari ini."bisik Diya lagi. Ari mengerutkan dahi saat menatap Diya. Protes. Ternyata kakaknya tidak tulus membelikannya Pizza. Tapi ada maunya.

Mata Diya mengedip-ngedip lucu. Membujuk adiknya agar mau membantu. Hingga akhirnya Ari mendengus sebal. Dia menghentikan tangannya yang masih mengelap lalu menoleh ke arah ayahnya ragu. Baru kemudian menoleh ke arah Diya lagi.

"Pizaa, bener ya?"Ari memastikan. Diya buru-buru mengangguk. Dan saat itulah Ari memanggil ayahnya kencang.

"Hm?" Adhiaksa menoleh.

"Mancing yuk?"seru Ari.

Adhiaksa menghentikan gerakan tangannya. Perlahan, laki-laki itu menoleh ke arah bungsunya kaget.

"Mau?"tanya Adhiaksa bingung. Apalagi saat Ari menggangguk. Dia sudah tidak bisa berkata-kata. Memancing adalah hobinya, satu-satunya hal yang membuatnya senang sampai lupa waktu. Hobi yang tidak bisa lagi dilakukannya semenjak istrinya meninggal.

Karena dia tidak bisa meninggalkan anak-anaknya lama-lama. Mengajak merekapun percuma, tidak ada yang mau.

Mereka selalu bilang kalau memancing adalah hal yang membosankan. Jadi Adhiaksa memilih untuk menahan diri. Meskipun ingin, meskipun waktunya senggang sekalipun ... tetap saja, dia tidak bisa melakukannya.

Dan sekarang tiba-tiba saja Ari menawarkan diri. Sulit dipercaya, namun Adhiaksa tidak bisa tidak tersenyum mendengar ini. Diya ikut tersenyum. Dia tidak ingat kapan terakhir kali melihat ayahnya tersenyum selebar itu.

"Ya sudah, gimana kalau kita juga berangkat jam 8?"putus ayahnya cepat.

"Okeeee,"Ari mengacungkan lap basah ke udara. Hingga Diya dan ayahnya tertawa. Diya menatap adiknya itu gemas, ingin sekali mencium pipinya.

Ada dua hal yang tidak disadari Ari saat ini. Dia bukan hanya menolongnya, tapi juga menolong ayahnya. Ari tidak tahu, betapa berharganya pertolongannya itu.

---

Waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi ketika semua pekerjaan rumah Diya selesai. Itu artinya, dia punya waktu satu jam untuk bersiap-siap. Jujur saja, Diya gugup setengah mati. Ini pertama kalinya dia akan kencan. Meskipun ini hanya Rafan, namun tetap saja rasanya gugup sekali.

It (Rafan)Where stories live. Discover now