16. Bunda

3.7K 581 72
                                    

Sebenarnya, masalah Fier tidak serumit itu. Dia cukup bicara dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya itu yang perlu dilakukan olehnya. Namun pada kenyataannya, Fier memilih tutup mulut.

Sejak awal, Rafan selalu tidak pernah sepaham dengan Fier. Dia tidak pernah mengerti cara berpikir abangnya itu. Bunda memang marah besar. Bahkan dirinya dan Fianer yang sama sekali tidak tahu apa-apa ikut di marahi.

Begitupun Fier masih tetap bertahan untuk tidak mengatakan apa-apa. Seakan tidak peduli dan dengan angkuhnya diam saja menerima vonis – tanpa pembelaan diri.

Rafan berpikir Fier harus bersyukur mempunyai ayah. Berkat Erfan, Fier keluar dari ladang ranjau berbahaya dan hanya tersandung kerikil kecil yang bahkan tidak membuatnya jatuh ke tanah. Rafan tidak tahu apa yang dikatakan ayahnya kepada kepala sekolah. Namun hasilnya benar-benar di luar dugaan. Fier tidak jadi di D.O. Tapi hanya skors satu hari. Hebat bukan?

Sebetulnya Rafan selalu menunggu masa-masa ini ada. Sejak dulu Fier selalu memandang rendah dirinya karena selalu membuat masalah dan tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Dia selalu membuat ayahnya turun langsung setiap ada masalah yang sudah tidak bisa terkendali lagi.

Seharusnya Rafan senang. Tapi kenapa perasaannya berantakan seperti ini? Bukannya senang melihat kakaknya habis di marahi, dia malah kesal sendiri. Kakaknya di fitnah, di jadikan kambing hitam – dengan suka rela. Meskipun hanya skors satu hari, namun vonis bersalah itu akan melekat selamanya.

Ini tidak menyelasaikan masalah. Hanya menutupinya saja. Buat apa? Sembunyi apalagi lari adalah hal yang dia benci. Dia lebih suka menghadapi separah apapun jalannya, sekacau apapun keadaannya. Karena harga diri yang dipertaruhkan di sini!

Rafan sempat menggebrak sofa di depan Fier saat bangkit setelah di marahi. Dia memilih ke atas, masuk kamarnya dari pada melihat Fier yang membuatnya semakin emosi.

Dia bahkan membanting pintunya baru setelah itu menjatuhkan dirinya ke kasur. Sesekali berusaha untuk tidak peduli. Namun semakin berusaha, dia semakin ingin menghajar Fier agar membuat abangnya itu sadar.

Rafan sama sekali tidak peduli tentang alasan yang Fier punya dengan memilih diam. Sebagus apapun, itu akan percuma. Image yang bertahun-tahun Fier bangun runtuh dalam hitungan detik. Dan yang paling menggemaskan adalah, Fier membiarkannya begitu saja.

Tidak melawan sama sekali, hanya diam saja di injak-injak begini. Menontonnya saja Rafan sudah emosi. Dia tidak bisa membayangkan perasaan kakaknya sekarang. Pasti tidak hanya marah. Mungkin sedih, mungkin kecewa, mungkin juga semuanya Fier rasakan sekaligus saat ini. Dan cowok itu menahannya. Diam menahan semua pikiran dan perasaan, di tekan di pojok sendirian, lalu di salahkan atas segala tuduhan.

Begitupun Fier masih bisa diam.

Saat emosi semakin meluap-luap, ponselnya bergetar, dia melihat nama Diya di layar.

"Apa?!" Rafan tidak sadar menyentak Diya dengan galak. Sedetik kemudian Rafan panik karena cewek itu diam saja. Dia melihat layar, takut sambungan telah telah terputus, namun ternyata belum. Kemudian Rafan menmpelkannya di telinga lagi. "Di ... sori, sori. Gue nggak ... halo? Halo?"

Dimatikan.

Rafan semakin panik. Dia mencelat dari tempat tidur. Dicobanya menghubungi Diya kembali. Jantungnya seperti berlari mendengarkan suara sambungan yang tidak kunjung berhenti. Bayangan Diya marah membuatnya kebakaran jenggot.

Satu pesan masuk ke ponselnya. Senyumnya mengambang lega melihat pesan itu dari Diya.

Ntar aja telponnya, kalo udah tenang.

Rafan melotot. Apa-apaan dia? Memangnya dia sedang mengamuk?! Rafan menghela napas panjang. Di biarkannya ketenangan memenuhi kepalanya. Dia berusaha setenang mungkin agar boleh menelpon Diya lagi.

It (Rafan)Where stories live. Discover now