18. Keputusan

3.6K 576 49
                                    

Gue otw.

Diya menghela napas panjang sekali. Rasanya seperti bisul yang membesar akhirnya pecah juga. Membuatnya lega luar biasa.

Dia mendengus lirih. Setelah semua yang Rafan lakukan padanya sejak kemarin. Mendiamkannya tanpa berniat memberikan penjelasan sedikitpun. Seharusnya dia marah, emosi, kesal. Namun yang ada, dirinya justru lega Rafan akhirnya menghubunginya.

Aneh, bukan?

"Ayo cepat selesaikan sarapannya. Ayah ada rapat, jadi harus berangkat lebih pagi."

Kebetulan. Senyum Diya mengembang manis. "Kalau begitu ayah anter Ari aja, Diya biar berangkat sama ..."

"Tidak boleh,"

Bibir Diya cemberut. Belum juga dia menyelesaikan kata-katanya, ayahnya sudah memotong. "Diya kan cuma kasih saran. Kalau Ayah nggak anter Diya ke sekolah, ayah bisa sampai kantor lebih cepat."

"Nggak ada."

Kali ini Diya memilih diam. Lagi pula percuma juga. Ayahnya akan terus keras kepala. Meskipun alasan yang dia katakan masuk akal sekalipun, ayahnya akan menolak terus-menerus. Karena Diya tahu, alasan ayahnya tidak mengijinkan bukanlah karena bentuk motor Rafan semata. Namun karena ayahnya tidak suka. Sesimple itu.

"Ya udah, biarin aja sih mba." Ari ikut menimpali. "Tapi yah, sekarang udah jam enam lebih."

Adhiaksa langsung melihat jam dinding di samping meja makan. Ari tidak bohong, selagi mereka berdebat, waktu berlalu dengan cepat. Sekarang, jika dia keras kepala mengantar Ari dan Diya, dia akan terlambat.

"Ayo berangkat," putus Adhiaksa selanjutnya. Dia meninggalkan piringnya begitu saja lalu mengambil tas kerjanya di punggung kursi. Diya dan Ari melakukan hal yang sama.

Mereka bergegas keluar rumah. Diya tersenyum melihat Rafan sudah ada di depan gerbang menunggunya. Lebih senang lagi saat melihat wajah tengil itu telah kembali. Sepertinya awan gelap yang kemarin menutupinya sudah hilang tersapu angin. Entah cowok itu akan memberitahunya atau tidak, Diya tidak yakin. Namun yang jelas, melihat sikap Rafan yang kembali percaya diri, Rafan pasti sudah mengambil keputusan akan bagaimana dia bersikap.

"Cuma kali ini," ayahnya tiba-tiba bicara. Diya yang sedang fokus pada Rafan, terkesiap saat menoleh.

"Maksudnya?"

"Ayah ijinkan kamu berangkat sama Rafan." Mata Diya melebar, senyumnya sudah melebar tertahan. "Tapi hanya hari ini saja," Adhiaksa memperingatkan.

Siapa yang peduli, yang penting hari ini dia bisa berangkat bersama Rafan. Diya sudah senang sekali. Saking senangnya dia mencium pipi ayahnya cepat.

"Makasih, ayah," ucapnya manis.

Adhiaksa sampai bengong melihat polah anak gadisnya sendiri. Bahkan lebih senang dari pada saat dibelikan ponsel pertama kali. Ditatapnya Rafan, tempat putrinya itu berlari mendekat. Rasanya darahnya sudah meluap dari jantung menyadari Diya sebegitu senangnya diijinkan berangkat bersama Rafan.

Sedangkan Diya sudah menghampiri Rafan dengan riang gembira. Rafan menunggu di motornya tanpa bergerak sedikitpun. Matanya menatap Diya lurus dan tajam dengan seringai khasnya yang terlihat cool di mata Diya.

"Ayah ijinin kita berangkat bareng." lapor Diya happy.

Smirk Rafan hilang. Dia kaget setangah mati. "Serius?" tanyanya memastikan. Bahkan sampai menoleh ke arah Adhiaksa yang memandangnya datar. Seolah masih tidak rela dengan keputusannya.

It (Rafan)Where stories live. Discover now