17. Tebakan Diya

3.6K 545 38
                                    

Rafan menyembunyikan sesuatu darinya.

Diya langsung tahu hanya dengan melihat gelagat aneh Rafan di depan sana. Sikap Rafan yang begitu telanjang, terlihat jelas, dan begitu kentara membuat Diya gemas sendiri.

Guru baru itu ... ibu Fiandra, jelas-jelas Rafan mengenalnya. Untuk Rafan, Diya selalu memperhatikan. Saat matanya hanya terarah ke arah Rafan, saat seluruh perhatiannya terpusat ke sana, tidak ada yang luput dari pandangannya. Terutama, saat Rafan menatap bu Fiandra pertama kali. Kekagetan itu berubah menjadi kepanikan dan Rafan sama sekali tidak pintar menyembunyikan.

Terlebih saat Rafan akhirnya mentap mata Diyaa. Kepanikan itu terlihat membesar seolah takut Diya tahu sesuatu. Lalu kepanikan itu hilang kemudian, di paksa padam karena tiba-tiba Rafan bersikap tenang kembali.

Seakan itu cukup membuat kecurigaannya lenyap. Seakan bisa mengalihkan semua sikap mencurigakannya tadi. Karena semuanya sudah terlambat. Diya memang diam. Tapi dia menyimpan setiap detil kecil itu dalam memori. Dia tahu, dia harus memikirkan seluruh misteri ini sendiri karena sepertinya Rafan tidak berniat sama sekali memberitahunya.

Rafan-Fier-Fianer dan sekarang bu Fiandra. Relasi keempat orang ini membuatnya pusing. Ada banyak bentuk hubungan, namun mereka berempat entah masuk ke dalam hubungan apa. Hanya saling kenal? Atau lebih dari itu.

Dia hanya bisa menebak-nebaknya. Dan namanya tebakan, bisa benar bisa pula meleset jauh.

Diya mengalihkan perhatiannya ke arah bu Fiandra. Menumpukkan kedua tangannya di atas meja, menatap guru baru itu lekat.

Suaranya yang merdu saat mengabsen membuat Diya perlahan tersenyum. Menenangkan, sangat keibuan namun juga elegan di saat yang sama. Cantik, hingga Diya tidak yakin saat menebak umurnya. Masih muda atau terlihat muda karena kecantikannya?

Apakah di kisaran 30? 40? Atau ... 50?

---

Dari kejauhan Rafan bisa melihat Fiandra duduk di meja guru. Tersenyum ramah pada kolega-kolega barunya dan mengobrol santai seolah mereka sudah mengenal lama.

Melihat ibunya mulai bersosialisasi membuatnya kesal. Seakan-akan ibunya akan di sini lama. Untuk apa Fiandra beradaptasi sedangkan keberadaan ibunya di sini hanya sementara? Hanya sampai Pak Gibran mengajar lagi bukan? Di lihat dari lukanya, kemungkinan pak Gibran hanya butuh waktu 2 minggu - paling lama satu bulan untuk sembuh.

Rafan memilih mundur. Dia tahu untuk sekarang dia tidak bisa mendekati ibunya, terlebih ponsel Fiandra benar-benar di non-aktifkan hingga dia tidak bisa menghubunginya. Satu-satunya cara dia bicara dengan ibunya hanyalah menunggu pulang. Mereka bisa membicarakan semua kegilaan ini dengan leluasa di rumah

"Kamu di panggil siapa?" suara itu mengagetkan Rafan hingga dia tersentak.

Pak Hendrik berdiri di belakangnya dengan mata menyorot curiga.

"Enggak Pak, nggak ada guru yang memanggil saya."

"Kamu pasti bikin masalah lagi kan? Makanya di panggil ke ruang guru?"

Suara Pak Hendrik yang nyaring membuat siapapun yang mendengarnya menoleh. Pun Fiandra. Dia bisa melihat Rafan sedang diintimidasi oleh pak Hendrik. Namun Fiandra memilih tidak melakukan apapun. Diam memperhatikan Rafan menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Saya cuma lewat, pak." balas Rafan kesal. Dia tahu pak Hendrik tidak akan percaya. Namun Rafan pun malas meyakinkan. Dia berniat langsung ngeloyor pergi sayangnya pak Hendrik seakan tidak membiarkan. Di tariknya lengan Rafan hingga anak itu mengeram emosi.

"Pergi begitu saja itu nggak sopan!"

"Tapi saya memang nggak punya kepantingan lagi di sini Pak, saya mau ke kelas!"

It (Rafan)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon