11. Hari Pertama (3)

3.3K 503 41
                                    


Saat pertama kali Rafan masuk kelas, cowok itu hanya diam.

Hanya menatap ke sekeliling dengan pandangan muram. Rasanya mengesalkan. Setelah semua usaha yang telah dia lakukan, setelah segala perlawanan yang dia kerahkan, dia tetap berakhir di sini.

Tidak peduli betatapun inginnya dia pergi, Rafan tetap terjebak di sini.

Sejak dulu polanya memang seperti ini. Dia memberontak, lalu ayahnya bertindak. Setelah itu dia akan kalah, tetap selalu kalah dan akhirnya benar-benar kalah.

"Ada apa?" tanya Diya pelan.

Rafan menggeleng cepat. "Nggak apa-apa."

Dia berusaha menetralkan warna wajahnya dan kembali melihat sekeliling. Mencari bangku kosong yang bisa dia duduki. Seperti kata Diya tadi, kelas sudah penuh. Rafan sudah tidak mempunyai banyak pilihan sampai seseorang melambai ke arahnya.

"Bos! Sini!" Yusuf memanggilnya.

Satu helaan lolos dari Rafan. Sepertinya Yusuf sudah mempersiapkan sebuah bangku untuk Rafan. Mau tidak mau Rafan menghampiri Yusuf juga. Anak itu nyengir lebar saat mempersembahkan kursi yang dia jaga sejak tadi dengan bangga.

"Tenang bos, saya udah pilihin kursi yang paling strategis. Jadi bos bisa deketan sama nyonya bos." katanya sambil membusungkan dada. Kursi itu tepat di belakang Diya.

Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat Diya yang sudah duduk di kursinya menenggelamkan wajahnya di meja. Malu.

Wajar. Suara yusuf yang kelewat bersemangat terdengar kencang. Hingga nyaris anak satu kelas menoleh ke arah mereka.

Tanpa bicara, Rafan duduk di sana lalu tidur telungkup di atas meja. Kepalanya pusing.

"Bos, temen-temen kita banyak yang mencar. Cuma kita berdua doang yang sekelas." lapor Ucup.

"Jangan panggil gue Bos," pelan Rafan. Dia tidak nyaman.

"Maunya dipanggil apa?"

Rafan menegakkan punggungnya menghadap Yusuf, kesal. "Lo tahu nama gue kan?"

"Tahu."

"Ya udah. Ngapain bingung?"

Ucup terdiam. Mencoba mencerna kata-kata Rafan. Saat satu pemahaman menyentuh otaknya, dia tersenyum terharu. Dia sadar benar. Saat Rafan memintanya memanggil nama, itu berarti Rafan lebih suka menjadi seorang teman dari pada seorang bos.

"Oke Bos, eh ... Fan." balas Yusuf akhirnya.

"Good!" Masalah satu selesai. Rafan memilih tidur telungkup lagi untuk menghabiskan waktu lima menitnya sebelum bel berbunyi. Yusuf sendiri sudah cengar-cengir sedari tadi. Muka Yusuf terlihat malu-malu. Malu tapi senang.

Diam-diam Diya tersenyum mendengar percakapan itu.

---

Bel masuk berbunyi. Semua anak duduk di kursi masing-masing. Setelah tenang, seorang guru masuk. Dengan gerakan tegas langsung berdiri di depan kelas. Auranya menakutkan. Siapapun tahu kalau guru di depan mereka salah satu guru killer. Penampilannya benar-benar rapi. Rambutnya disanggul sederhana, kacamatanya putih tebal yang bertengger di hidungnya, juga kemeja di double blazer warna cokelat tanah. Juga rok span di bawah lutut dengan warna senada. Dan sepatu pantofel dengan hak kecil di belakangnya, juga berwarna sama. Tipe perfectionist.

It (Rafan)Where stories live. Discover now