13. Lebih Dekat

3.1K 516 50
                                    


Jujur saja, Diya agak khawatir meninggalkan Ari dengan Rafan sendirian di rumah.

Ari jelas-jelas tidak menyukai Rafan. Adiknya itu pasti tidak mau bersikap ramah pada cowok itu. Dia pasti akan kaget saat tahu Rafan yang akan menjaganya.

Diya tahu Rafan tidak akan banyak terpengaruh. Cowok itu tidak akan peduli meskipun harus satu ruangan dengan orang yang tidak menyukainya. Cowok itu pasti akan santai saja. Tapi dia juga tahu, Rafan bukan tipe cowok yang bisa menjaga anak kecil.

Entah bagaimana jadinya mereka ditempatkan di satu ruangan yang sama?

Diya memegangi kepalanya yang pusing. Dari tadi dia menunggu ponselnya berbunyi. Dia pikir Rafan akan menelponnya atau setidaknya mengiriminya pesan. Tapi sejak tadi dia tunggu, pesan itu tidak pernah datang. Bahkan ponselnya tidak berdering sama sekali.

"Kenapa Di?" tanya Sophia.

Cepat-cepat Diya menaruh ponselnya kembali ke atas meja. "Enggak apa-apa, Shop."

Untuk menutupi rasa gugupnya, dia meminum lemon teanya. Mereka sudah jalan-jalan keliling Mall sampai kaki mereka pegal. Saat ini mereka sedang beristirahat di sebuah tempat makan di dalam Mall juga. "Lagi mikirin Rafan ya?"

Apa terlihat jelas? Diya menghela napas, lalu akhirnya mengangguk juga. Tidak ada gunanya juga menyembunyikan perasaan. Faktanya dia memang khawatir.

"Gue sama sekali nggak habis pikir. Kok bisa sih kalian pacaran secepet itu?" tanya Sophia. Dia menatap Diya dengan pandangan menyelidik. "Nggak mau pedekate dulu?"

"Mengalir aja. Gue sama Rafan sepakat buat pedekate setelah pacaran."

Sophia mengernyit. "Boleh tahu nggak kenapa lo nerima dia?"

"Hm?" Diya yang habis meminum minumannya mendongak. "Karena gue juga suka sama dia." jawabnya polos.

"Karena dia ganteng?"

Diya tersedak tawa. Namun karena tahu itu tidak sopan, sebisa mungkin dia menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Baru setelah tawanya reda, dia turunkan tangannya dan bicara.

"Rafan emang ganteng. Tapi jujur aja, dia bukan tipe gue." jawab Diya yakin dengan senyum manisnya.

"Emang tipe lo kayak apa?"

Diya mengetuk-ngetukan jarinya di dagu, berpikir. Tipe yang dia suka justru seperti kak Fier. "Baik, kalem, nggak suka terlibat masalah, nggak suka berantem, ya ... yang cool gitu."

"Terus kenapa lo terima?" tanya Sophia bingung.

"Nggak tahu."

"Nggak tahu?"

Diya mengangguk. Diya tidak bohong. Dia memang tidak tahu mengapa menyukai Rafan. Dia hanya tahu bukan karena tampang alasan dia menerima Rafan. Setidaknya alasannya tidak sedangkal itu.

Jawaban Diya membuat Sophia termenung. Dia sudah tidak tahu harus bertanya apa lagi. karena ternyata jawaban Diyapun rancu, terkadang ambigu. Membingungkan. Yang dia tahu, keduanya masih mencari jawaban.

Diam-diam dia tersenyum. Ikatan ini terlalu mudah terpasang, pun dengan alasan yang begitu lemah. Dia yakin ikatan ini akan mudah lepas juga. Hubungan mereka tidak akan bertahan lama.

"Kenapa, Shop? Kok diem?"

Sophia menggeleng sambil mengembangkan senyum. "Nggak papa. Cuma capek aja kayaknya."

"Oh,"

"Kita pulang aja yuk. Udah sore juga."

Diya mengangguk mengiyakan. Setelah itu dia langsung menghela napas. Lega. Rasanya dia ingin sekali pulang sejak tadi. Secepat mungkin, kalau bisa terbang. Untungnya Sophia berbaik hati mengantarnya pulang. Tentu saja Diya menerimanya dengan senang hati.

It (Rafan)Where stories live. Discover now