7. Salah paham

18K 2K 130
                                    


Kaki Rafan tak begitu terasa pegalnya kemarin. Namun setelah bangun pagi, Rafan seperti tak bisa bangun dari tempat tidur. Kakinya pegal luar biasa hingga terasa sakit saat digerakkan. Dia menyumpah-nyumpah kesal.

Pelan-pelan dia menggerakkannya. Terus menerus hingga lemas kembali. Baru setelah itu dia bisa beraktifitas lagi. Saat sarapan, Rafan tak menunjukkan pegalnya kaki. Dia berjalan seperti biasa.

Baru setelah masuk mobil dia mulai meringis-meringis lagi. Dia kembali duduk di belakang. Sambil menyelonjorkan kakinya yang masih pegal.

"Kakinya masih pegal den?" tanya Mang Karyo.

Rafan tak menjawab. Hanya memejamkan mata sabil mengurut kakinya sendiri. Entah kenapa dia tahu bahwa ini adalah akhir dari perlawanannya saat MOS. Dia tahu dia tak akan bisa lagi menerima hukuman. Jika dia lari lagi, maka kakinya akan semakin parah. Dia harus menahan diri untuk membuat masalah.

Menerima seperti biasa bahwa rencana kakaknya berjalan sempurna!

Mobil berhenti di depan gerbang dan otomatis Rafan membuka pintu dan keluar dari mobil. Dia tak bisa pura-pura kuat. Dia nyaris berjalan pincang saking sakitnya kaki. Pertama kali yang dia lakukan setelah sampai di lapangan adalah mencari tempat duduk, sambil menyelonjorkan kakinya.

Sial! Dia sudah terbiasa berolah raga. Tubuhnya tidak kaget saat dibawa bekerja keras. Namun dia akui kemarin memang sudah keterlaluan. Tubuh dan jantungnya dipaksa bekerja keras tanpa henti. Entah Fier sengaja menyiksanya atau tidak tahu batasan. Namun jika orang lain yang dihukum seperti itu, mungkin orang itu akan pingsan atau serangan jantung!

"Kaki gue kerasa sakit." Satu suara membuat Rafan menoleh. Fianer sudah duduk di sampingnya. Cewek itu meringis memegangi kakainya yang dulu sempat patah. Rafan terkesiap khawatir.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya.

"Sakit," bisiknya lirih. "Temenin gue ke UKS yuk?" pintanya. Rafan tak bertanya lebih lanjut. Dia berdiri walaupun kakinya masih terasa peglnya. Dan dia mengulurkan tangan ingin membantu Fianer. Dan Fianer menerima dengan senang hati.

Mereka berjalan menyeberangi lapangan, tak sadar sebagai pusat perhatian. Namun Rafan tak mempedulikan. Kaki Fianer sakit, itu jauh menyita perhatiannya.

"Gue pikir setelah bisa jalan sakitnya bakal ilang." Kata Rafan.

Fianer mengangguk. "Iya, nyerinya cuma sesekali muncul."

Setiap kali Rafan meliht Fianer menahan sakit, amarahnya selalu muncul. Dan keinginan untuk melindas Rudolf muncul kembali. Dia menyesal sudah menyia-nyiakan kesempatan itu dulu. Dia tahu tak akan ada kepuasan dan kesenangan dari sebuah pembalasan dendam. Namun paling tidak Rudolf bisa merasakan apa yang Fianer rasakan selama 6 bulan masa penyembuhannya. Dia sendiri tak tega melihatnya.

Sampai di UKS yang kosong, Rafan memapah Fianer tidur di satu tempat tidur kosong. Sedangkan dia juga duduk di atas tempat tidur sampingnya yang juga kosong.

"Lo juga istirahat aja. Kaki lo masih pegel juga kan?"

Rafan tersenyum tipis. Tapi tak menjawab. dia menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur. "Bentar lagi bel."

"Nanti gue deh yang ijin ke abang."

"Gak usah." Jawabnya keras kepala. Rafan ingin beranjak namun Fianer menghalangi.

It (Rafan)Where stories live. Discover now