12. Ari

3.1K 501 45
                                    

Di meja makan sudah ada banyak lauk pauk yang Diya persiapkan dari subuh. Rumah juga sudah bersih dan rapi. Tapi Diya ragu. Apa ini sudah cukup untuk bisa mendapatkan ijin dari ayahnya?

Maka dari itu, saat ayah dan adiknya turun, Diya gugup setengah mati. Dia terus menerus memperhatikan raut wajah keduanya. Diya harus mempertahankan mood ayahnya tetap bagus agar lebih mudah membujuk ayahnya nanti.

"Wah, kayaknya rumah bersihan ya pagi ini." puji ayahnya senang.

Diya ikut tersenyum. "Iya, tadi Diya sempet nyapu sama ngepel juga."

"Tumben masak buat sarapan?" tanya Ari. Biasanya Diya tidak sempat memasak lengkap. Hanya rosi isi atau nasi goreng untuk sarapan.

"Sekalian buat siang, jadi Mba nggak perlu masak lagi."

Keduanya mengangguk-angguk saja. Lalu menyusul Diya duduk di kursi. Ayahnya tersenyum melihat kopi sudah mengepul di mejanya. Tanpa menunggu dingin, ayah Diya menyesap kopi itu sedikit. Menikmati sensasi hangat itu membuatnya tersenyum. Dan melihat ayahnya tersenyum, membuat Diya lega.

Dia sudah ada di jalur yang benar. Dia hanya perlu menunggu moment yang tepat untuk bicara.

Ayah dan adiknya bergantian mengambil nasi dan lauk. Sementara Diya diam, jemarinya saling bertaut gugup. Ayanya sampai heran sendiri melihat Diya diam saja dari tadi.

"Ayo makan,"

Diya langsung mengangguk cepat. Ikut  mengambil nasi dan lauk. Namun hanya sebatas itu. Saat ayah dan adiknya sibuk makan, Diya hanya bermain-main dengan makanannya. Perutnya tidak enak karena terlalu gugup. Dia tidak napsu makan sama sekali.

Hingga akhirnya ayahnya selesai makan. Diya pikir ini saat yang tepat untuk bicara. Diya menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman. Baru saja mulutnya terbuka, ayahnya sudah mengambil kopi dan menyesapnya. Diya menunggu lagi.

Baru setelah ayahnya menaruh cangkir ke tatakan, Diya memutuskan bicara dengan hati-hati.

"Yah ..."

"Kenapa?"

"Mm..." Diya memainkan sendoknya. "Nanti siang boleh nggak Diya main sama temen?"

Ayah Diya langsung menoleh seketika, sedangkan Ari berhenti makan. "Mba, Ari di rumah sama siapa?"tanya Ari

"Sebentar aja De, paling cuma dua jam." bujuk Diya dengan wajah memelas. "Boleh ya Yah, Diya nggak enak banget soalnya nolak ajakannya."

"Sama anak yang kemarin?" tanya ayahnya.

"Bukan Yah." Balas Diya cepat. Dia tidak mau ayahnya salah paham. Karena dia yakin, ayahnya akan langsung menolak jika Rafan orangnya. "Temen Diya cewek. Namanya Sophia." Diya menggigit bibirnya gelisah. Ayahnya sudah memberi tanda akan menolak permintaannya. Buru-buru Diya menambahkan. "Kemarin Diya udah nolak ajakannya. Diya nggak enak mau nolak lagi."

Melihat wajah memelas Diya, ayahnya menghela napas.

Jujur saja, dia tidak tega. Sejak kepergian istrinya, rutinitas mereka berubah. Mereka berusaha bertahan. Saling menguatkan dan juga saling berbagi kesedihan. Berusaha menjadikan keluarga ini tetap baik-baik saja meskipun tanpa kehadiran sang Ibu.

Diya selalu berusaha mengerti. Tidak pernah mengeluh, dan tidak pernah meminta sesuatu yang menyusahkannya. Diya paham benar kalua dia sudah tidak bias seperti dulu. Dia tidak bisa jalan-jalan ke Mall bersama teman-temannya atau sekedar nongkrong.

Ayahnya iba. Namun Ari akan dirumah sendirian. Tanpa ada yang menemaninya. Dia pun tidak tega.

"Ya udah. Ari main ke rumah Dio aja nanti. Tapi mba Diya langsung jemput ya kalo udah pulang!"

It (Rafan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang