3. Teka-teki dari pengacau

15.7K 1.9K 129
                                    


"Ketangkep?" tanya Fier, ketua osis mereka.

"Enggak! udah dicari kemana-mana, tapi lolos!"

Jawaban itu membuat raut wajah Fier yang tenang menjadi geram. Dia berusaha memejamkan mata menahan tangannya menghancurkan sesuatu. geram, menyadari ulah adik bungsunya itu.

Bukan hanya Fier, tapi semua panitia MOS yang dibuat kalang kabut juga sama marahnya dnegan Fier.

Hanya Fianer yang bisa tersenyum disana. Geli hingga geleng-geleng kepala. Mereka semua tak mengenal Rafan, sebaik Fianer atau Fier. Rafan tidak akan bisa tertangkap, kecuali dia sendiri yang menyerahkan diri.

Fier memejamkan mata lagi, kedua siku bertumpu di meja dan kedua tangan mencengkeram kepala. Rafan selalu tahu bagaimana cara menguji kesabarannya!

"Abaikan dia." Sahut Fianer berusaha memberikan solusi.

"Abaikan?!" Rosie, sekretaris OSIS mereka angkat suara tak terima. "Anak itu sudah bikin kekacauan. Datang-datang sudah bikin rusuh! Dia udah mukulin lima anak sekaligus! Kalo sampe kepala sekolah denger, tu anak bisa dikeluarin bahkan di hari pertama!" serunya emosi.

"Abaikan ..." Fier memutuskan tanpa pikir panjang. Keputusan itu jelas membuat semua orang terperangah. Kasus pemukulan itu bukan masalah sepele yang bisa diabaikan begitu saja!

"Tapi ... tapi!"

"Kita tidak boleh terpengaruh karena anak itu. Kembali ke pos masing-masing. Skedul harus jalan tepat waktu!"

Bel masuk segera berbunyi. Itu artinya apel pembukaan MOS harus segera dipersiapkan. Rafan boleh melakukan sesukanya, tapi dia tidak akan membuat rencana yang disusun berbulan-bulan berantakan! Jika mereka terlambat apel, maka acara dibelakangnya ikut ketetaran. Dan Fier tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Setelah upacara, baru kita cari anak itu lagi!"

Fianer mengangguk setuju. Dan lainnya mau tak maupun mengikuti juga. Satu persatu keluar dari ruang sekre mempersiapkan anak baru untuk apel, hingga tersisa Fianer dan Fier di dalam.

"Bang ..." Fianer menepuk lengan Fier lembut. Fier menoleh namun dengan wajah keruh.

"Gue harus bagaimana lagi menghadapi dia?!" desisnya lelah.

Fianer mendengus. Lalu kembali menepuk bahu abangnya berkali-kali, sekedar memberikannya kesabaran. Tapi kesabaran itu tak kunjung datang. Hanya gemuruh panas yang membuat darah Fier makin mendidih.

Fier pandai sekali mengontrol emosi. Perkembangan emosi dan mentalnya sudah berkembang jauh meninggalkan level anak-anak sepantarannya. Namun, Rafan sepertinya senang sekali bermain-main dnegan kesabarannya. Hingga terkadang Fier ingin sekali meledak.

Tapi dia tahu, jika dia meledak, artinya Rafan yang menang. Dan sampai kapanpun, itu tidak akan pernah terjadi.

---

"Mau."

Telinga Rafan berdengung.

Dia meringis menggaruk telinganya yang masih berdengung sejak tadi. dia menyadari ada puluhan orang sedang membicarakannya di luar sana. Dan tak menutup kemungkinan juga mengutuknya!

Dya sejak tadi sudah menunduk malu-malu. Tersipu, dengan rona merah di pipinya yang semakin pekat. Tapi saat melirik Rafan, cowok itu justru meringis dengan senyum smirk aneh. seakan pembicaraan mereka tak penting!

Wajah malu-malu Dya pudar berubah kekesalan. Dia memukul lengan Rafan gemas hingga cowok itu kaget.

"Lo serius nembak nggak sih?!" serunya kesal.

It (Rafan)Where stories live. Discover now