9. Hari Pertama

4.3K 615 168
                                    

Ada yang masih nunggu cerita ini nggak sih? 

maapkan yak, kayaknya aku dah lama banget hiatus. sekarang lagi pingin nulis lagi. Semoga aja bisa lanjut terus sampe tamat. amiiiiiiiin.

----------------------------------------------------------

Sekarang jam sudah menunjuk pukul 05.30. Sudah saatnya sarapan di bawah. Tapi Rafan justru masih mengancingi baju. Menatap dirinya di depan kaca dengan pandangan menerawang. Tangannya pun bergerak sangat lamban. Hingga mengancing satu saja lamanya minta ampun.

Dulu dia ingin sekali waktu berhenti. Atau kalau bisa lompat tiga tahun lebih bagus. Rasanya, membayangkan masa tiga tahunnya bersekolah di tempat yang sama dengan kedua kakaknya membuatnya stres.

Namun setelah percakapan kemarin, Rafan sudah tidak yakin lagi bahwa dia tidak menginginkan sekolah di tempat itu. Rasanya pelan-pelan, sedikit demi sedikit kemarahan itu hilang. Kesepakatan dengan kedua kakaknya membuatnya menyadari mungkin sekolah di sana tidak buruk juga.

Tepat saat tangan Rafan selesai mengancingi baju, dia mendengar suara mobil datang. Halus, tapi telinganya sayup-sayup mendengar. Sepertinya dia kenal suara mobil itu. Namun untuk memastikannya, dia menyeberang kamarnya, mengintip di balik jendela. Beruntung jendela kamarnya menghadap depan rumah. Jadi dia bisa tahu siapa saja yang datang.

Seorang gadis keluar dari mobil dengan senyum lebar.

Kampret! Rafan mengumpat. Satu helaan berat dan panjang akhirnya keluar. Tangannya tergantung di pinggang.

Kenapa cewek itu harus datang sekarang?! Saat jam sarapan, saat dia sedang kelaparan?! Tapi jika boleh memilih, lebih baik dia kelaparan dari pada harus bertemu Shiena.

Kesal campur lapar, Rafan membuka jendela setelah memastikan Shiena dan Om Govin sudah masuk ke dalam rumah. Ada dak-dakan tipis di bawah jendela. Tapi itu sudah cukup untuk dijadikan pijakan kakinya. Empat meter tinggi jendela dari tanah. Tapi itu bukan masalah. Rafan hanya perlu menurunkan tubuhnya lalu kedua tangannnya bertumpu di atas dak. Perlahan dia menurunkan tubuhnya hingga tubuhnya menggantung di bawah. Sisa ketinggian ini membuat Rafan bisa mendarat dengan mudah. Sebisa mungkin dilakukannya tanpa suara.

Wajahnya sudah tertekuk kesal. dia mengendap ke garasi dan mengeluarkan motor barunya dari sana. Karena dia tidak bisa memanaskan motor tanpa ketahuan, mau tidak mau dia harus menuntun motornya hingga keluar gerbang.

Dia menyumpah-nyumpah sepanjang jalan menuju pintu gerbang yang berjarak lima belas meter itu. Mang Karyo yang melihatnya dari arah pos jaga samping gerbang tergopoh-gopoh menghampiri.

"Kenapa Den?" tanyanya.

Rafan hanya menggeleng masih dengan mempertahankan raut kesal itu. Mang Karyo tidak bertanya apa-apa lagi. Hanya mengangguk-angguk paham setelah melihat mobil Govin di halaman. Bukan hal baru bagi Rafan untuk kabur setiap Shiena datang. Mang karyo tidak tahu kenapa, tapi dia berusaha mengerti saja.

Dengan pengertian, mang Karyo menggantikan Rafan menuntun motor hingga ke luar. Sedangkan Rafan buru-buru menutup pintu gerbang. Dia merasa tenang ada di luar. Namun dia juga tahu, masih ada kemungkinan Shiena menyusulnya ke luar.

"Makasih Mang." ucap Rafan. Mang Karyo senyum-senyum senang. Seolah merasa dirinya sudah dimaafkan.

"Iya Den, sama-sama." Mang Karyo menyerahkan motor itu ke Rafan kembali. Setelah menaiki motor, Rafan menyalakannya. Cowok itu mengambil HP sambil menunggu motornya panas. Mengutak atik nomor kontak.

"Ck," Dia lupa kalau tidak punya kontak Diya.

Rafan tidak terlalu lama memanaskan motor. Bukan hanya takut Shiena keluar menyusulnya tapi juga takut terlambat menjemput Diya. "Bilang aja nanti sama Ayah, Rafan udah berangkat Mang."

It (Rafan)Where stories live. Discover now