Chapter 13

5.1K 402 36
                                    

Lucy tidak ingin bermimpi lagi.

Dengan sadar Lucy mengetahui bagaimana perasaannya saat ini, dia tahu hatinya telah berlabuh, dia tahu dia sudah jatuh cinta, dan dia juga tahu kalau untuk pertama kali jatuh cinta, hatinya juga dipatahkan begitu saja.

Mimpi-mimpi buruk itu terus mengganggu tidurnya, mimpi yang berulang kali menyadarkan Lucy bahwa apa yang saat ini dia alami adalah sebuah kemustahilan. Mustahil untuk mendapat balasan yang sama akan perasaan yang dia pendam. Kadang Lucy merasa bodoh, bagaimana bisa dia jatuh cinta semudah itu? Hampir dua bulan pernikahannya, Natsu sama sekali tidak pernah bersikap manis untuknya, tidak sampai saat ini. Apa yang Natsu lakukan hanya seperti sikap seorang teman, itu pun tidak dekat, bukan?

Lalu, apa alasannya dia menjadi berharap pada perasaan yang salah?

Sejak awal, cinta itu memang tidak ada. Tidak untuk gadis sepertinya.

“Lucy, kau baik-baik saja?”

Suara Juvia membuyarkan lamunan Lucy. Gadis bersurai pirang itu tersenyum tipis, sebelum menyesap jus jeruk di hadapannya.

Mereka sedang duduk berdua di sebuah meja cafe yang terletak tidak jauh dari lokasi kampus. Lucy memaksakan dirinya untuk masuk kuliah dengan kondisi yang masih teramat lelah. Berharap dengan menyibukkan diri, Lucy bisa menjauh dari masalah.

“Maaf kemarin aku tidak menghubungimu. Ponselku mati, dan aku tidur seharian.”

Juvia menggeleng pelan. “Tidak masalah. Natsu-san sudah memberitahuku kalau kau tidak akan masuk. Lalu, kenapa hari ini kau justru datang? Kau harus beristirahat kurang lebih tiga hari Lucy. Tubuhmu itu lemah.”

Lucy tertawa kecil. Dia menatap Juvia senang, nyatanya masih ada seseorang yang benar-benar mengkhawatirkan kondisinya.

Lucy seketika teringat sang Mama. Benar juga, di dunia ini masih ada sosok Ibu yang juga peduli padanya. Lucy benar-benar rindu, dia ingin pulang dan menginap, namun dengan kondisinya sekarang, dia hanya akan membuat Layla khawatir.

“Juvia... pernikahanku, tidak seperti yang aku harapkan.” Lucy berucap lemah, dia mengaduk minumannya, kemudian menatap Juvia yang memandang kasihan.

Gadis dengan warna rambut mencolok itu menggenggam tangan Lucy, menepuknya pelan. “Bukankah sudah pernah aku katakan, kau harus menceritakan semuanya padaku. Mungkin aku tidak bisa mengurangi bebanmu, tapi dengan bercerita, kau mampu berbagi kesedihanmu padaku. Bukankah kebahagiaan akan menjadi berlipat-lipat jika dibagi dengan seseorang?” Juvia tersenyum lembut. “Begitu juga dengan kesedihan, Lucy. Setidaknya kau harus melegakan hati dan pikiranmu. Bagi denganku, hm?”

Lucy tersenyum lemah, dia menghela napas. Merasa sedikit bebannya terangkat. Setelah menggumamkan kata terimakasih, Lucy melempar pandangannya ke luar, menatap lalu lalang orang-orang di sekitarnya saat mulai bercerita.

“Dulu, aku pernah menyukai seseorang.”

Juvia terkejut. “Kau pernah jatuh cinta? Dengan siapa? Bagaimana bisa kau tidak pernah cerita?”

Lucy memutar mata, menatap Juvia lempeng. “Aku menyukainya Juvia, dan dia bukan orang lain. Dia saudaraku sendiri.”

“Eh? Saudara? Kau punya kakak?”

Lucy tersenyum. “Kakak, ya?” Lucy tertawa kecil, dia sedikit menunduk saat memainkan jari-jarinya. “Hm, dia kakakku. Dulu aku masih kecil, dia selalu menemaniku, dan dulu aku berharap menikah dengannya.”

Juvia tersenyum. “Sepertinya cerita yang indah. Ah, kau tahu? Aku dulu juga pernah menyukai kakak laki-lakiku sendiri dan berharap suatu saat menikah dengannya. Sepertinya, seorang adik memang selalu begitu, ya?” Juvia terkikik dengan ingatan yang muncul. Dia menatap Lucy kembali, tersenyum saat melihat lawan bicaranya masih mengulas senyum yang sama.

You're MINE!Where stories live. Discover now