Chapter 22

8.3K 506 195
                                    

Lucy termenung di atas tempat tidur Natsu. Ini adalah kamar pertama, di mana Lucy dan Natsu menghabiskan malam pernikahan mereka di tengah suasana canggung dan menyesakkan. Itu sudah berlalu, sudah lama Lucy lupakan. Sekarang, hubungannya dengan Natsu membaik, lelaki itu selalu bersikap hangat padanya, tidak pernah gagal membuat Lucy terpesona. Kemudian, secepat kehangatan itu datang, secepat itu pula Lucy kembali dihadapkan pada rasa sakit yang memang seolah tidak pernah mau jauh-jauh dari hidupnya.

“Dulu, Aku dan Ayahmu adalah teman dekat. Sebelum dia meninggal, dia pernah mengatakan ingin sekali mengenalkanmu padaku. Lalu aku bergurau dengan menyebutkan bahwa suatu saat aku ingin anak perempuannya bisa menjadi menantuku. Yah, tidak sepenuhnya gurauan, aku hanya berpikir bahwa akan sangat menyenangkan jika persahabatan kami bisa terikat menjadi sebuah keluarga.”

Lucy menunduk, menatap kedua tangannya yang saling bertaut. Aroma kamar ini masih sama, meski sudah jarang dihuni, namun aroma Natsu masih memenuhi ruangan. Membawa rasa hangat, juga menyesakkan yang tidak pernah sanggup Lucy bayangkan.

Dulu, mendiang Ayah dan juga Ayah mertuanya adalah sahabat dekat, dan Lucy tidak tahu itu. Lagi pula, bukan itu yang penting. Yang penting saat ini adalah, apa yang sudah Igneel ceritakan padanya tadi.

“Jude dan aku berjanji, bahwa suatu saat, kami akan mempertemukan kalian berdua, kau dan Natsu. Kau tahu apa maksudku. Jude mungkin tidak bisa memenuhinya, namun aku harus menepati janji yang kami buat.”

Lucy menangis. Matanya sudah bengkak karena dalam kurun waktu tiga jam ini, entah sudah berapa kali dirinya meneteskan air mata.

“Maaf karena caraku, kau menjadi terluka. Tapi Natsu, dia tidak tahu apa-apa soal janji itu. Jika aku mengatakan yang sebenarnya, Natsu akan marah dan janji yang sudah aku buat dengan Jude mungkin saja tidak akan pernah terpenuhi. Lalu, perusahaan menjadi satu-satunya alasan yang tepat, dan Natsu menyetujuinya.”

Jahat.

Lucy meremas roknya.

Mereka semua terlalu kejam. Apa mereka tidak pernah memikirkan perasaan Lucy?

“Natsu mencintaimu. Aku bisa melihat itu dari matanya. Dia... sungguh-sungguh mencintaimu, Lucy."

Lucy ingin percaya, sungguh. Tapi air matanya selama ini, rasa sakitnya hari ini, Lucy ingin melupakan itu semua, dan mempercayai ucapan Igneel.

Hanya saja...

“Aku menyayangimu. Kau berarti untukku. Percayalah.”

Kalimat yang Natsu ucapkan pada Lisanna beberapa jam yang lalu, terlalu sulit untuk dilupakan begitu saja. Juga tangis gadis berambut perak itu, Lucy tidak bisa membayangkan bagaimana gadis itu sanggup menahan rasa sakit yang mungkin melebihi sakit hatinya.

Semuanya... terlalu rumit.

Suara ketukan di pintu kamar mengalihkan pikiran Lucy, pintu bergerak terbuka dan Wendy menyembulkan kepalanya dari sana.

“Kakak, aku boleh masuk?”

Lucy mengangguk kemudian menepuk sisi kosong di sebelah. “Kemarilah, kakak rasa butuh teman cerita selain Ayah.”

Wendy tersenyum, gadis berambut panjang itu melangkah masuk dan segera duduk di sebelah Lucy. “Kakak terlihat sangat sedih, aku tidak tau harus melakukan apa.”

Lucy tersenyum kecil. “Terimakasih, Wendy. Aku hanya sedang dihadapkan pada masalah yang cukup rumit. Aku rasa belum waktunya kau mengerti.” Canda Lucy pelan.

Wendy cemberut. “Aku ini sudah tujuh belas tahun, loh, Kak. Tujuh belas tahun.” Tekannya. Seolah ada lampu yang menyala terang di kepala, Wendy segera bertepuk tangan sekali. “Kak, mau dengar ceritaku tentang kak Natsu?”

You're MINE!Where stories live. Discover now