Chapter 20

5.6K 386 28
                                    

Sehelai sapu tangan berwarna putih dengan garis kuning di setiap sisinya, entah bagaimana membuat Lisanna terus bungkam dalam keheningan pagi itu. Sudah terlewat empat hari sejak pertemuan tidak terduganya dengan Sting, atau satu minggu, atau mungkin lebih, Lisanna tidak ingat. Lisanna membutuhkan banyak waktu untuk memahami setiap kalimat yang Sting ucapkan padanya.

Satu hal yang baru yang Lisanna ketahui tentang karakter Sting yang semula dia kira adalah sosok menyebalkan. Sting itu sosok yang ramah, pembawaannya membuat siapa pun yang berada di sisi Sting tidak akan dengan mudah meninggalkan lelaki itu. Ada magnet tak kasat mata yang membuat Lisanna merasa Sting akan sangat sulit untuk dia jauhi. Senyum lelaki itu, bagaimana dia menasehati Lisanna tentang sakitnya menunggu kejelasan hubungannya yang mendadak digantung.

Lisanna menatap tangan kirinya yang menggenggam ponsel.

Masih sama.

Tidak ada satu pesannya yang diqbalas.

Lisanna tidak mengerti bagaimana Natsu bisa sejahat itu. Menjauhinya begitu saja seakan dia tidak pernah ada. Dia diabaikan. Dilupakan. Hubungan mereka mendadak semu, memudar, dan mungkin... akan menghilang.

Lisanna bangkit dari posisi duduk, dia akan melakukannya. Lisanna sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk memikirkan rasa sakit yang dia derita. Hari ini, Lisanna akan mengobati lukanya yang kian melebar. Meski harus mengalami rasa sakit yang lebih besar. Kemungkinan terburuknya adalah... Lisanna akan dicampakkan.

Apa Natsu bisa sejahat itu?

Tentu. Lisanna membatin. Musim berganti. Alam tak lagi sama. Manusia yang hanya makhluk lemah, tentu bisa dengan mudah berubah.

Keputusannya sudah bulat. Lisanna akan mengakhiri semuanya hari ini. Tanpa sadar, sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel, menggenggam erat sehelai sapu tangan putih bersulamkan dua huruf di sudut kanannya.

S.E.

Si pemilik sapu tangan.

.

.

Jika kebahagiaan itu bisa dirasakan, Lucy akan menggambarkannya serupa angin musim semi yang membawa aroma lembut bunga, sinar matahari cerah namun terasa sejuk, kicauan burung di pagi hari, dan kedamaian hati yang terus melingkupi. Sebanyak itu, dan Lucy tidak mampu menggambarkan semuanya.

Kebahagiaan adalah sesuatu yang besar. Dia sulit didapatkan, dan lebih sulit lagi untuk dipertahankan. Kalau ditanya apakah kebahagiaan itu berupa objek yang mampu ditangkap mata, Lucy yang sekarang akan mengatakan dengan lantang bahwa kebahagiaan itu adalah... Natsu.

"Wajahmu memerah... lagi."

Lucy tersentak, berkedip beberapa kali dan menyadari bahwa lagi-lagi dia melamun. Natsu berbaring di sebelahnya, masih dengan setelan kerja yang biasa dia gunakan sehari-hari. Sepulang kerja bukannya membersihkan diri, Natsu justru memilih masuk ke kamar Lucy-yang entah sejak kapan juga menjadi kamar Natsu-dan merebahkan tubuh seenaknya di atas kasur gadis itu.

"Kau harusnya mandi." Lucy beralasan untuk menghindari pernyataan Natsu barusan.

"Malas."

"Tapi kau harus mandi."

"Aku lelah. Aku mau tidur."

"Nanti. Setelah mandi dan makan malam." Lucy bersikeras.

Natsu menyeringai, dia menatap Lucy dengan posisi tubuhnya yang menyamping. "Kau benar-benar terdengar seperti seorang istri."

Lucy tidak tahu bagaimana bisa setiap susunan kalimat yang Natsu ucapkan selalu berpotensi membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

"Oh, wajahmu merah lagi." Natsu tertawa, menggoda Lucy memang selalu semudah ini.

You're MINE!Where stories live. Discover now