1. Percakapan di Sore itu.

459 28 5
                                    

Sore hari. Langit senja. Lapangan bola di belakang rumah.

Sekai meneguk air mineral yang dibawanya. Ia baru saja selesai jogging, mengitari jalan di kompleks. Jia ikut menemaninya—walau lebih banyak mengeluh karena kaki pendeknya yang sulit diajak berlari kencang.

Waktu tak terasa berjalan sangat cepat. Sepertinya baru saja kemarin mereka masuk kelas X SMA, sekarang ujian kenaikan kelas sudah ada di depan mata.

Hari-hari di sekolah berjalan dengan baik, seperti biasa. Tak ada konflik berarti, belajar dengan displin, mendapatkan nilai bagus agar dapat bertahan di kelas A. Namun Sekai merasa sedikit...jenuh. Dengan semua kenyamanan itu.

"Bentar lagi ujian," ucap Sekai, dengan mata yang memandang lurus ke langit. Warna jingga berpadu bersama sisa cahaya matahari yang akan tenggelam. Menyisakan warna langit yang sangat cantik.

"Aku udah belajar," Jia menyahut. Cewek dengan wajah cute itu tersenyum dengan mata melengkung tipis.

"Aku juga." Sekai tak mau kalah.

Lalu mereka iam sesaat.

"Aku bosan, Zee."

"Bosan?" Jia tak mengerti. Kedua alis lurusnya yang tipis saling bertaut. Ia meneguk air. Sekai memandanginya. Melihat kucir tinggi rambut panjang Jia yang ditiup angin sore yang sejuk. Sekai menjawab dengan gumam pelan. Ia menekuk kedua kakinya. Menghela napas pelan.

"Tahun ini aku pengin pindah ke kelas B aja. Atau kelas apalah. Aku bosan."

Jia tersentak. Keputusan Sekai terlalu tiba-tiba.

"Kenapa gitu, Kai? Kamu kan pengin beasiswa dari sekolah, kalo kamu turun ke kelas lain, peluang kamu bisa hilang loh." Jia tahu kalau selama ini itulah yang diincar Sekai di SMA Graha. Setiap tahun sekolah memberikan beasiswa pada siswa pintar untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri dengan syarat mereka berasal dari kelas A—yang sangat diperhatikan sekolah.

"Yah, aku tahu sih, tapi...aku bosen gini-gini terus, Zee. Kamu sendiri bosen nggak sih?"

Jia terdiam. Bosan? Ia tak pernah berpikir begitu. Baginya, asalkan ada Sekai di sisinya, ia tak akan pernah merasa bosan. Ia akan selalu nyaman dan bahagia. Sesederhana itu.

"Belajar keras buat ngimbangi kamu emang agak capek sih, tapi kan..."

"Nah, kamu juga capek kan belajar? Aku juga mikir gitu." Sekai menjatuhkan kakinya. Tangannya bertumpu ke belakang, kini kepalanya jadi mendongak ke langit. Senja telah sepenuhnya diarak ke ufuk barat. Matahari telah benar-benar tenggelam. Membiarkan gelap perlahan menyelimuti langit. Menunjukkan wujud kecil para bintang-bintang.

"Tapi aku suka kok. Asalkan bisa bareng kamu," ucap Jia.

Sekai menoleh. Tersenyum dengan cara yang selalu disukai Jia.

"Tahun ini aja, ayo kita coba turun ke kelas lain. Dari SMP kita belajar mati-matian sampe leher kaku. Jujur aja, aku jadi tertekan di SMA." Sekai tertawa jenaka. Jia berbisik dalam hati bahwa ia sangat suka cara Sekai tertawa.

Jia tergugu kemudian. Ia tak pernah memikirkan itu. Ia merasa semua baik-baik saja. Selama ini ia hanya memikirkan Sekai. Memandang ke arah Sekai. Ia tak pernah peduli pada hal lain—yang tak perlu.

"Apa mungkin ada alasan lain kenapa kamu pengin begitu, Kai?" tanya Jia, hati-hati. Sekai cuma senyum. "Ada sih."

"Apa?"

Sekai tersenyum lalu kembali melihat langit.

"Aku pengin kita punya banyak teman, Zee." Matanya memandangi bintang-bintang. Seolah sebanyak itulah teman yang ia inginkan.

Jia dapat mengerti sebab sejak SMP mereka hanya berdua. Sekai mungkin punya teman lain, tapi hanya teman biasa. Tidak pernah benar-benar mempercayai mereka untuk masalah tertentu. Sementara Jia memang sulit mendekatkan diri dengan orang lain—tepatnya ia tidak punya keinginan seperti itu.

"Gimana? Kamu mau kan?" tanya Sekai, membuyarkan lamunan Jia. Cowok itu tampak menaruh harapan pada jawaban padanya.

"Apa aku aja nggak cukup jadi teman kamu, Kai?"

Sekai terkejut lalu tertawa. Ia mengacak gemas rambut Jia. Ia menghela napas.

"Sejak aku ketemu kamu, bagiku kamu udah lebih dari cukup dari apa yang aku butuhkan. Tapi...kita tetap harus bersosialisasi sama yang lain, Zee. Punya teman banyak itu bagus loh. Jadi pas kita sama-sama nggak bisa menemani, masih ada teman yang lain."

"Aku bakal terus sama kamu kok!"

"Mungkin kamu bisa, tapi aku? Apa aku mungkin bisa terus di samping kamu?"

"Kamu ngomong gitu seolah kamu bakal pergi jauh." Jia memasang wajah muram.

"Enggak, Zee. Aku...aku cuma pengen ada yang berubah. Sedikit aja."

Jia diam, sembari berpikir.

"Kita pindah ke kelas lain, kita berteman sama orang lain, tapi kita tetap bareng kan?" Jia seperti mengatakan kekhawatirannya, berpisah dari Sekai.

Sekai tertawa pelan. Ia menepuk kepala Jia.

"Aku akan terus di samping kamu. Itu udah jadi janji seumur hidup, Zee."

Dan Jia tahu, ia tak perlu merasa ragu lagi. Lalu tak lama, ia pun menganggukkan kepalanya, tanpa memikirkan apapun.

"Oke, kita pindah kelas tahun ini."

***

LOOKING FOR MOONLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang