17. Hujan Meteor

123 12 6
                                    

Tidak ada yang pernah bisa menebak bagaimana hidup berjalan.

Waktu beranjak, pelan-pelan membawa sebuah perubahan.

Jia kadang belum bisa percaya kalau ia sudah punya lebih dari satu sahabat. Ia punya 'Sekai' yang lain—walau tak sebaik Sekai asli.

Mengenal mereka lebih jauh membuat Jia memahami hati masing-masing orang. Tak ada yang sempurna. Setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan. Itu yang menjadikan mereka membutuhkan orang lain, untuk mengisi kekurangan, untuk membagi kelebihan.

Menjelang ujian semester genap, semua kelas disibukkan dengan pelajaran. Perpustakaan menjadi cukup ramai—walau kantin masih lebih ramai lagi. Nyatanya perut lapar lebih menuntut diisi ketimbang mengisi otak.

Jia menarik pandangannya dari lembar buku yang ia baca. Saat ini mereka berenam di perpustakaan. Masih kompak belajar bersama.

Kali ini Tobi mengusung sebuah lomba siapa yang akan dapat nilai tertinggi di antara mereka berenam akan bebas meminta apa saja. Usulan Tobi cukup bermanfaat, setidaknya untuk memicu semangat mereka yang sempat loyo karena gagal di study exchange.

"Ah, gue ngebayangin yang lagi ikut SE pasti nikmati musim panas di Tokyo." Tobi berkata dengan wajah mengiri.

Sekai tertawa pelan. "Jakarta juga nggak kalah panas kok, Bi," sahutnya.

Tobi memberengut. "Beda lah, Kai!"

Sekai dan yang lain tertawa.

"Kalo mau, kita bisa aja nyiptain musim panas sendiri, di sini," timpal Alden.

Jia menoleh ke arahnya.

Tentang Alden, ia sudah terlihat seperti biasanya. Berisik, kadang cerewet dan suka mengganggu. Namun sikapnya itu membuat Jia bertanya-tanya. Bagaimana tentang pengakuan Alden waktu itu? Apakah Alden memang tak akan membahasnya lagi? Dan seolah menjadi sebuah kebalikan, kini justru Jia yang merasa gugup melihat cowok itu.

"Gimana caranya coba?" tanya Tobi.

"Elo hang out pake yukata pas lagi terik," sahut Alin.

Mereka tertawa kecuali Tobi.

"Elo norak, iya!" ujar Tobi sebal. Alden malah memukul-mukul bahunya. Menambah kesal Tobi. Lalu keributan mereka itu membuat pengunjung perpustakaan serta penjaganya melotot galak. Mereka salah tingkah.

"Kalian sih!"

Kinal tersenyum melihat gerutuan Tobi.

"Tapi seriusan, libur nanti kalian udah ada rencana belum? Kita liburan bareng yok," ajak Tobi.

Sekai menutup bukunya. Ini pembahasan yang menarik. "Gue setuju. Tapi kapan, di mana? Gue sebenarnya di awal libur ada rencana nemenin ayah di kebun."

"Aku kapan aja luang kok. Karena pas awal liburan papa juga masih di luar kota," sahut Jia, yang ikut tertarik. Ia masih seperti dulu, masih menyukai apa yang menarik bagi Sekai. Namun soal perasaannya, entah kenapa pelan-pelan terasa memudar. Dan sekarang ia lebih menghargai persahabatannya.

"Ke Puncak yuk!" saran Alin.

"Jangan, pasti di sana rame pas liburan. Nggak asik. Kita ke tempat yang jarang dikunjungi pas liburan aja, jadi kan nggak terlalu rame." Tobi berpendapat.

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now