15. Sesuatu tentang masa lalu

106 12 1
                                    

Sekai berusia 12 tahun.

Ia memeluk lututnya. Tubuhnya gemetar. Matanya sembab karena banyaknya air mata keluar dari sana. Ia merasa segala yang ada di sekitarnya samar-samar. Ia tak dapat melihat dengan jelas. Dalam benaknya hanya satu yang sering terlintas. Raina, adiknya yang membeku dengan bibir pucat. Adiknya yang sudah tidak bernapas lagi.

"Sekai, makan dulu nak." Ibunya—yang sebenarnya masih terpukul karena kepergian putri bungsunya, mencoba menenangkan trauma Sekai. Sudah tiga hari sejak meninggalnya Raina, Sekai tak pernah beranjak dari kamarnya. Ia selalu menangis, kadang berteriak frustasi.

"Bunda, Raina mana?" pertanyaan itu terdengar sangat menyakitkan. Ibunya tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Juga tak dapat menyalahkan Sekai. Ini semua memang kecelakaan. Apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya seorang ibu yang merasa terpukul dan bingung menghadapi kondisi takut yang Sekai alami.

"Udah, Bun. Biar Ayah yang nanganin Sekai." Ayah seolah paham bagaimana kondisi istrinya dan mengambil alih Sekai.

Sekai tak bisa tidur. Setiap kali matanya terpejam maka yang terlihat adalah kronologi kecelakaan itu. Raina mengikuti Sekai yang sedang kesal. Ia tampak memohon agar Sekai mengizinkannya ikut bermain dengannya. Sekai yang merasa adiknya merepotkan tak berkenan mengajak Raina. Akhirnya kecelakaan itu terjadi.

Raina terpeleset ketika menyebrangi sungai. Arus sungai yang deras dengan mudahnya membawa tubuh kecil Raina. Gadis kecil itu berteriak. Menyebut nama kakaknya. Meminta tolong. Sekai panik. Teman-temannya turut panik. Sebagian dari mereka memanggil bantuan. Sebagian mengikuti ke mana arus sungai itu membawa Raina. Tak satupun dari mereka berani terjun ke sungai yang pasang, terlebih memang arus sungai itu sangat deras.

Pada akhirnya bantuan datang terlambat. Raina tidak dapat bertahan dengan tubuh kecilnya. Ia ditemukan mengambang di sungai dalam kondisi tak bernyawa.

Sekai tak percaya. Ia melihat sendiri bagaimana pucatnya tubuh adiknya. Keterkejutan membuat Sekai menangis histeris.

"Raina!" Sekai terbangun dari tidurnya. Ayah yang menemani di sebelahnya ikut tersentak. Sekai kemudian menangis lagi. Ia mengucap nama Raina dan ketakutannya. Ibunya datang dan ikut menenangkan.

"Bunda, Raina... Raina, Bunda..." ibunya memeluk erat. Ikut menangis.

***

Insiden kecelakaan Raina membuat Sekai menjadi penyendiri dan enggan bermain. Beberapa teman sering datang untuk mengajaknya bermain, menghiburnya. Namun Sekai enggan pergi. Baginya teman-temannya itu saksi dari kesalahannya. Ia tak mau berada dalam masa menakutkan itu lagi.

Sekai sering berjongkok di depan pagar rumahnya. Tatapannya begitu kosong. Ia memandangi bebatuan di tanah. Atau semut yang berjalan membawa makanan ke sarangnya. Atau genangan air yang timbul oleh sisa hujan di malam hari.

Dalam suasana hening itu, Sekai mendengarkan suara mobil—tak jauh dari rumahnya. Tetangga baru. Sekai tidak tertarik. Ia mendengar pembicaraan orangtuanya tentang tetangga baru mereka kemarin.

Sekai mengangkat kepalanya ketika menyadari ada yang lewat. Ia tertegun mendapati sosok gadis kecil sedang melihat-lihat sekitarnya. Sekai belum pernah melihatnya. Mungkin dia anak tetangga baru mereka.

Tubuh kecil anak gadis itu membuat Sekai seperti melihat adiknya. Raina punya tubuh yang sama kurusnya. Ia juga senang mengenakan dress one-piece dengan motif bunga-bunga. Gadis itu kecil itu cantik dengan rambutnya yang dikepang dua. Ia mengenakan bowler hat. Wajahnya manis. Matanya memandang fokus. Persis Raina yang selalu ingin tahu.

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now