11. Perasaan

93 7 0
                                    

"Jadi di sana lagi musim gugur?" tanya Alden pada sosok cowok dengan usia lima tahun lebih tua darinya. Saat ini ia sedang video-call dengan Varo lewat aplikasi skype. Wajah kakaknya terlihat cerah seperti biasa. Menunjukkan kalau kehidupannya di Tokyo baik-baik saja. Mungkin ia sangat bahagia di sana.

"Iya, tapi...malam mulai dingin."

Alden tersenyum.

"Gimana sekolah kamu, Dan?"

"Biasa aja."

Alis Varo bertaut. "Kamu nggak bikin masalah kan?" ia ingat sewaktu SMP, Alden pernah beberapa kali bertengkar dengan teman sekelasnya. Insiden yang membuat Alden kemudian dicap sebagai trouble-maker di sekolah.

Alden menggeleng. Ia masih tersenyum dan tampak tertegun. Memikirkan sesuatu.

"Aku punya teman, sekarang."

"Oh ya? Itu bagus. Harusnya emang begitu, Dan."

"Tapi susah untuk bener-bener ngerti orang lain." Ucap Alden kemudian.

"Pelan-pelan aja. Persahabatan bukan hubungan yang dipaksakan. Semua berjalan secara alami."

Ia tersenyum. Varo selalu bisa membuat perasaannya lebih baik. Andai saja Varo tetap di sini, mungkin ia akan merasa jauh lebih baik lagi.

"Jadi, kapan pulang, Kak?"

Varo terkejut lalu tertawa kemudian. "Kamu kira Kakak di sini main-main. Kakak kuliah di sini."

Alden tersenyum kecut. Yah, Varo memang beralasan pergi ke Jepang untuk kuliah. Namun Alden bukannya tak tahu itu juga menjadi alasan untuk 'lari' dari ayah mereka. Menjelang lulus SMA, Varo sering bertengkar dengan ayah mereka. Alden tak tahu banyak, namun ia yakin Varo sangat kecewa. Ayah mereka benar-benar enggan memandang mereka lagi. Jarak semakin terbentang jauh. Tidak ada yang berkenan mendekat lebih dulu.

"Kak Varo yakin bakal pulang kalo kuliahnya selesai?"

Varo diam. "Ada tawaran kerjaan yang bagus di sini."

Jawaban itu menunjukkan kalau Varo belum berniat untuk kembali.

"Apa aku harus susul Kak Varo ke sana?"

"Itu bukan ide bagus."

Alden tertawa kesal. Di satu situasi Varo bisa terasa begitu mengesalkan bagi Alden, walaupun ia sangat menyayangi kakaknya itu.

"Jadi Kak Varo bakal bikin aku terus nunggu? Kakak nggak mikirin kalo aku tertekan? Papi bahkan nggak pernah liat aku lagi." Alden menunduk, menyembunyikan amarahnya. Ia membuat masalah di sekolah dengan harapan ayahnya akan datang ke sekolah, setidaknya menatapnya sebentar. Namun apa yang dilakukan ayahnya, beliau malah menunjuk asistennya untuk mengurus masalah itu. Di rumah, ayahnya bagaikan bayangan yang sejenak hilang lalu muncul lagi dan Alden tak bisa meraihnya.

"Aku juga lagi nunggu, Dan. Di sini, Kakak juga lagi nunggu."

Alden menghela napas, kesal.

"Mungkin kita emang cuma bisa nunggu. Nunggu Papi ngerasa kalo kita lagi nunggu dia."

Alden tak pernah mengerti cara berpikir kakaknya.

"Jadi, gimana temen-temenmu? Mereka baik?" Varo mengalihkan pembicaraan. Alden menyahut dengan gumam. Lalu ia teringat seseorang. Jantungnya berdesir pelan.

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now