3. Dia Memang Aneh

191 15 4
                                    

Satu bulan berlalu.

Satu bulan yang terasa menyebalkan bagi Jia dengan Alden sebagai pengganggu di sebelahnya.

Gadis itu sulit fokus pada pelajaran karena setiap waktu Alden akan berceletuk. Lalu menimbulkan suara berisik yang membuat mata guru akan memandang ke arah meja mereka. Dan tak hanya itu saja, Alden juga terkadang akan menghalangi jalan Jia di pintu kelas. Memandanginya intens lalu tertawa setelah berhasil membuat ia kesal ataupun malu.

Jia mengunyah keripik kentangnya tanpa ampun. Meluapkan rasa kesal. Sekai yang tengah makan roti di depannya heran.

"Kenapa, Zee? Kamu kayaknya kesel banget."

Saat ini keduanya berada di kantin. Jam istirahat pertama.

"Alden?" tebak Sekai. Melihat reaksi wajah Jia yang semakin cemberut, sudah menunjukkan bahwa tebakannya benar. Cowok itu tertawa pelan.

"Dia ganggu kamu gimana sih?"

Jia tak menjawab. Dengan geram ia melahap keripik kentangnya. Sekai tertawa lagi. Beginilah kalau Jia sedang kesal tapi tak bisa meluapkannya. Ia hanya akan makan sesuatu yang ada di depannya dengan lahap.

"Kesel yah kesel, tapi perhatiin cara makan kamu dong." Sekai menyeka remah kentang di dagu Jia.

Gadis itu tersentak. Matanya melirik ke arah lain. Sialnya ia malah bertemu pandang dengan Alden yang baru saja membeli banyak makanan ringan. Cowok itu mengawasinya. Jia melotot kaget. Sekai ikut menoleh ke sana. Lalu tersenyum kecil, bermaksud ramah pada Alden. Namun Alden hanya berlalu, mengabaikan keduanya.

Jia mendecak. "Lihat, ganggu kan dia?"

Sekai menjauh, lalu mengangkat gelas minumannya. "Dia mungkin suka sama kamu."

Jia kaget lagi. Ia tak senang mendengar dugaan Sekai. Siapa yang mau disukai cowok seperti Alden. Dia cuma cowok pengganggu.

Sekai meneguk minumannya. Ekor matanya menangkap sosok Kinal yang melintas dengan air mineral yang baru dibelinya. Lalu Sekai terus memperhatikan sampai Kinal menghilang di pintu ke luar.

"Sekai? Hei!" Jia membuyarkan. Cowok itu menoleh, lalu terlihat bingung melihat muka cemberut sahabatnya.

"Kenapa?"

Jia tambah kesal. "Dari tadi aku bicara sama kamu loh."

Sekai tertawa aneh. "Sori, Zee. Kamu bisa cerita lagi sekarang."

Jia sudah tidak mood. Sekai tak memaksa. Pasalnya ia sendiri punya sesuatu yang dipikirkan dalam kepalanya. Tentang Kinal, dengan sikap dinginnya.

***

"Jadi untuk tugas makalah sejarah, Ibu akan bagi kalian menjadi delapan kelompok. Perkelompok lima orang." Bu Ardini, guru Sejarah yang beberapa menit lalu memberikan penjelasan tentang materi tentang penjajahan Jepang, melihat daftar absen. Kemudian beliau mencoret-coret di atas kertasnya, sepertinya tengah membuat daftar kelompok.

Jia cemas. Ia berharap dirinya satu kelompok dengan Sekai, sebab itu akan memudahkannya mengerjakan tugas. Dan ia sangat berharap Alden tidak satu kelompok dengannya. Jia sibuk merapalkan harap dalam benaknya.

"Kamu berdoa supaya kita nggak satu kelompok ya?" tahu-tahu Alden berceletuk.

Jia tersentak. Sikapnya yang ketara tampaknya terbaca Alden dengan mudah. Gadis itu menoleh. Alden tersenyum sengit. Sekarang apa lagi maunya cowok ini. Kadang wajahnya bisa begitu manis dengan senyuman yang ramah—walau Jia lebih merasa ngeri melihatnya begitu. Lalu suatu waktu wajahnya akan berubah seram, dengan sorot mata tajam. Kadang dia juga akan diam seperti memendam sesuatu, kemudian akan berubah lagi ketika teman-temannya dari kelas lain datang.

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now