8. Dalam sebuah kesendirian

120 11 1
                                    

Rumah itu sangat besar. Dengan pilar-pilar kokoh berwarna kuning gading. Dinding putih bersih dan atap berwarna cokelat tua. Halamannya tak begitu luas, diisi tanaman bunga di beberapa sudut, kolam air mancur, bangku taman dari kayu jati dan lampu taman yang bersinar redup saat malam.

Alden mendorong pintu masuk rumahnya, berupa kusen kayu setinggi dua meter. Pak Joko tengah memasukkan mobil ke dalam garasi di sebelah rumah.

Sunyi. Itu yang paling mendominasi suasana rumah ini. Alden melewati ruang tamunya yang ber-desain minimalis. Satu set sofa putih dengan bantal berwarna abu-abu dan meja persegi. Di bawah dilapisi dengan karpet lembut warna hitam.

Ia menuju anak tangga di dekat pintu ke dapur. Tangga itu akan membawanya menuju ruang kamar. Ia melambatkan langkah ketika sampai di depan pintu kamar milik kakaknya, Varo. Sudah begitu lama, kamar itu bergeming. Tak pernah ditempati pemilik aslinya.

Alden kembali melanjutkan langkah menuju kamar. Ia mendorong pintu lalu menyalakan saklar lampu di dekatnya. Ruang kamar pun menjadi terang. Kamar bernuansa putih, warna kesukaan ibunya. Alden meletakkan tas di lantai yang dilapisi karpet hitam sebelum naik ke tempat tidur. Ia membaringkan tubuh lelahnya. Matanya terpejam sementara napasnya sedikit sesak. Perpaduan lelah di perjalanan serta emosinya yang meluap. Lalu ia mengingat bagaimana kelurganya dulu.

***

Alden usia 9 tahun.

Ia baru saja pulang sekolah dan tampak kegirangan ketika membuka pintu ibunya datang menyambut. Alden berali ke arah perempuan paruh baya itu dan memeluknya senang. Ia melonjak kegirangan dan menceritakan bahwa ia mendapatkan nilai bagus di salah satu mata pelajaran.

"Wah, anak Bunda pintar ya." Bunda mencubit gemas pipi anaknya. Alden tampak tersenyum malu lalu mulai mengoceh bagaimana guru wali kelas memujinya. Di belakang mereka, Varo berkacak pinggang.

"Dante, ayo ganti baju dulu."

Alden menoleh ke arah kakaknya yang sok memerintah. Mukanya cemberut.

"Sana ikut kata kak Varo," ucap bunda. Alden menarik diri dari pelukan ibunya dan pergi bersama Varo ke lantai atas, berganti pakaian sebelum mendapatkan makan siang mereka.

Pukul tujuh malam, ayah mereka tiba di rumah.

"Papi udah pulang? Tumben hari ini cepat." Varo menghampiri papi dan membawakan tasnya ke dalam. Pria paruh baya dengan jas rapi itu hanya tersenyum singkat. Di depannya sang istri dan anak bungsunya tampak sedang bicara sesuatu. Tepatnya Alden-lah yang berbisik ke arah bunda. Seperti memohon sesuatu. Ketika Alden melihat papi yang sudah mendekat, ia bersembunyi di belakang tubuh ibunya.

"Gimana kerja hari ini, Pi?" tanya Bunda setelah mencium tangan suaminya.

"Yah, gitu lah. Lagi banyak keluhan di divisi pelayanan hotel. Papi pusing jadi nyuruh Gunawan yang handle sebentar." Kemudian papi melihat ke arah Alden yang mengintip. Ketika mata mereka bertemu, Alden lekas sembunyi lagi.

"Dante kenapa?"

"Oh, iya. Dia dapat nilai bagus di pelajaran IPA. Papi mau lihat buku tugasnya?"

Papi mengangguk. Bunda kemudian meminta buku di tangan Alden kemudian memberikannya pada suaminya. Papi melihat nilai sempurna di buku itu. Beliau tersenyum kecil.

"Dante pintar ya." Itu pujian yang bernada tegas. Tapi Alden tetap senang.

Bunda kemudian berbisik ke arah papi, menyuruhnya melakukan sesuatu yang lebih pada anak bungsu mereka. Papi tampak ragu, tetapi kemudian tangannya terulur dan mengusap kepala Alden. Anak cowok itu tersentak tapi kemudian tersenyum. Sangat polos. Sangat bahagia.

LOOKING FOR MOONLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang