4. Rasa Bernama Kesepian

138 12 3
                                    

Ada sesuatu yang aneh.

Begitulah yang dipikirkan Jia berusia lima tahun, ketika ia melihat teman-teman di taman kanak-kanak dijemput oleh ibu mereka. Sementara Jia, orang yang datang menjemputnya adalah ayahnya.

Dalam gendongan Papa, ia melihat teman-temannya yang tertawa ceria bersama ibu mereka.

Ibu. Saat guru di TK-nya menjabarkan kata itu, Jia berpikir mengapa ia tidak bisa membayangkan bagaimana sosok seorang ibu. Kata gurunya, ibu adalah perempuan yang melahirkan kita ke dunia. Ibu adalah orang pertama yang sangat menyayangi kita. Tetapi kenapa Jia tidak punya.

"Pa, kenapa Jia nggak punya Mama?" suatu waktu Jia menanyakan hal itu pada Papa. Dengan wajah lugu dan belum mengerti apapun tentang dunia orang dewasa.

"Karena Jia cuma punya Papa. Papa yang sayang sama Jia." Begitu Papa menjawab pertanyaannya.

Untuk satu kali, Jia merasa senang dan melupakan soal ibu tadi.

Lalu ketika memasuki sekolah dasar. Pertanyaan tentang ibu itu kembali muncul. Saat Jia mulai berteman dengan anak lain. Mereka bercerita tentang ibu mereka, yang katanya baik, yang katanya pandai memasak, dan terkadang cerewet.

"Pa, mama itu seperti apa?" Sekali lagi pertanyaannya tidak pernah dijawab dengan jelas.

Jia kecil kemudian beranjak menjadi remaja. Ia tak lagi bertanya perihal ibunya, siapa ibunya dan bagaimana dia tidak berada bersama mereka.

"Mama kamu baik, ya," ucap Jia pada Sekai, saat ia singgah ke rumah cowok itu.

"Hm, tapi kadang juga cerewet," cowok itu sudah mengenakan pakaian training untuk jogging sore seperti biasa. Jia mulai mengikuti aktivitasnya sejak mereka berteman setahun lalu. Ketika memasuki bangku SMP.

"Gimana rasanya punya mama, Kai?" tanya Jia.

Sekai yang berlari di sebelahnya menoleh, namun tak segera menjawab. Ia sudah tahu latar belakang keluarga Jia, walau tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Ia hanya tahu kalau Jia tidak memiliki ibu.

"Aku ngerasa sulit buat jelasinnya, Zee."

"Karena kamu khawatir aku sedih?"

"Hm, alasan pertama emang itu. Alasan lainnya, karena aku emang sulit buat jelasin. Tapi yang pasti, rasanya punya ibu itu yaa...nyaman."

Ia terdiam. Nyaman. Rasa nyaman yang seperti apa. Ia ingin tahu.

"Tapi, Zee. Papa kamu orangnya baik. Dan kayak aku liat bunda, aku juga ngerasa nyaman liat papa kamu." Sekai mencoba menghibur.

Jia tersenyum kecil.

"Di dunia ini, kenyataannya semua orang memiliki dan nggak memiliki sesuatu. Tapi semua itu ada untuk ngelengkapi manusia itu sendiri. Buat ngajarin kalo di dunia, masih ada hal-hal kecil yang patut disyukuri."

"Kamu berlagak tua, Kai." Jia mencibir pelan.

Untuk mereka yang masih duduk di bangku kelas delapan SMP, ucapan itu memang terdengar dewasa. Sekai hanya pernah mendengar nasehat yang sama dari ibunya ketika adiknya meninggal. Cowok itu tertawa pelan.

Sepulangnya dari rumah Sekai, Jia menemukan Papa di teras belakang. Seperti memikirkan sesuatu dengan serius. Jia menghampiri, menyapanya lalu bertanya apa yang terjadi. Di luar perkiraan, Papa memberikan dua lembar foto pada Jia. Gadis itu tak mengerti. Ia melihat foto di tangannya. Seorang perempuan dengan senyuman yang sangat cantik. Jia seperti pernah melihatnya di suatu tempat sebab wajah itu terasa tak asing.

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now