6. Teman

131 11 4
                                    

Ada yang pernah bilang, teman adalah orang yang menyelamatkanmu dari rasa sepi. Jia setuju untuk ungkapan itu ketika ia bertemu dengan Sekai. Ketika Sekai mengulurkan tangan padanya dan mengajaknya berteman. Namun kini, Jia jadi merasa ungkapan itu menjadi aneh ketika melihat bagaimana cara pertemanan yang ditunjukkan Alden padanya.

Sejak Alden 'mendeklarasikan' bahwa mereka teman, cowok itu selalu ikut ke mana Jia pergi. Setahu Jia, ia tak lagi bergaul dengan teman-teman dari kelas lain sejak insiden perkelahian mereka. Alden juga tak menjaga pintu kelas seperti biasanya. Jalan masuk ke kelas menjadi aman bagi para siswi.

Bagi Jia, Alden itu menganggu. Ia selalu berdua dengan Sekai selama ini. Tak ada yang menjaraki hubungan mereka. Namun keberadaan Alden seolah menciptakan spasi. Belum lagi Alden selalu bicara. Bertanya ini itu. Membelikan ini itu dan banyak lagi.

"Aku heran kalian bisa jadi dekat." Ucap Sekai di suatu siang, ketika akan kembali ke kelas usai dari perpustakaan.

Alden mengangguk-angguk.

"Jia bilang aku temannya." Sahutnya kemudian. Jia hendak protes. Ia tidak pernah bilang begitu. Alden-lah yang menyimpulkannya sendiri.

"Kalo gitu kita juga temen." Ucap Sekai. Alden tampak bingung. "Teman Jia, temanku juga." Sambungnya. Alden tersenyum kemudian mengulurkan tangannya. Mengajak Sekai berjabat tangan seperti yang pernah ditunjukkan Jia bagaimana caranya berteman. Sekai tertawa pelan lalu menyambut uluran tangan itu. Sementara Jia memukul pelan dahinya. Dasar Alden aneh! Rutuknya dalam hati.

"Jangan keliatan frustasi gitu, Zee. Ini permulaan yang bagus kan?" ucap Sekai sambil merangkul Jia. Gadis itu cemberut. Dari belakang Alden ikut bergabung. Merangkul Jia seperti yang dilakukan Sekai. Jia tersentak.

"Kita teman!" ucapnya, seenaknya. Jia lekas melepaskan diri dari dua cowok itu. Sekai tersenyum geli. Sedangkan Alden heran. Jia tak peduli, ia masuk ke dalam kelas dengan langkah yang cepat sebelum siswa-siswi lain heran melihat dirinya berada di antara dua cowok.

Ketika pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, Alden tampak diam. Sementara Jia fokus dengan penjelasan Bu Dahlia tentang wacana yang akan mereka bahas.

"Hei..." panggil Alden. Jia menoleh sesaat. Lalu sadar kalau Alden tidak menyimak pelajaran sama sekali. Yang dilakukan cowok itu hanya mencoreti bagian belakang buku catatannya. Jia melihat Alden sedang menulis namanya dengan huruf kapital. Jia tak mengerti untuk apa Alden melakukannya.

"Sekai manggil kamu 'Zee'."

Seperti biasa ia membahas sesuatu yang terdengar kurang penting.

"Semua orang memang manggil kayak gitu, karena itu suku kata pertama namaku."

"Tapi dari buku yang baru kubaca, katanya dalam persahabatan ada baiknya memberikan nama panggilan khusus untuk lebih mengakrabkan hubungan."

Jia tak perlu hal yang seperti itu jika datangnya dari Alden yang aneh.

"Zianka Aneila. Dilihat dari tiap suku katanya, sedikit susah ya bikin nama panggilan."

"Panggil Zee aja, kayak Sekai."

Alden tampak berpikir. "Gimana kalo Zizi?"

Jia merasa geli mendengarnya. Seseorang akan merasakan lidahnya keram jika memanggilnya begitu.

"Jiji?"

Jiji? Jika ditambak huruf 'k' maka akan berubah menjadi 'jijik'. Jia merasa geli lagi. Haruskah Alden mengajaknya bicara tentang hal yang tak penting ini?

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now