10. Jarak

110 9 2
                                    

Pagi adalah saat yang paling tidak disukai Kinal, belakangan ini. Ia lebih menyukai malam, karena malam membuatnya dapat tidur—lari dari masalah dan segala pikiran yang mengganggu. Pagi. Gadis itu membencinya karena pagi tak pernah lagi menjadi saat yang menyenangkan. Pagi hanya menjadi awal dari rasa bencinya. Rasa benci terhadap keadaan saat ini.

Kinal menyuapkan potongan roti dengan malas ke dalam mulut. Ia sedang sarapan bersama ibunya—yang lebih terlihat repot sendiri. Makan sembari menjawab telepon dari seseorang. Orang yang Kinal kenal. Teman dekat ibunya. Seorang pria yang akan jadi ayah tirinya. Mengingat kenyataan itu membuat Kinal ingin segera beranjak dan melarikan diri dari rumah ini. Ia tidak menginginkan perubahan anggota keluarga di rumahnya. Namun apa dayanya, orangtuanya memang sudah bercerai sejak dua tahun yang lalu dan sejak saat itu Kinal berubah tertutup.

"Kinal, buruan sarapannya. Om Yudi udah mau sampe di sini. Dia pengen antar kamu ke sekolah."

Kinal melirik dengan sorot mata dinginnya. Ia meneguk susu lalu mengakhiri sarapannya. Sang ibu mengikuti gerak Kinal yang beranjak dari kursi. Menebak kalau putrinya akan menghindar seperti biasa. Beliau menjatuhkan pisau dan garpunya dengan kesal. Kinal hanya melirik sesaat setelah mendorong kursinya kembali ke dalam kolong meja.

"Kamu nggak bisa kayak gini terus, Nal."

Ia tak menyahut. Malah sibuk menyampirkan tas di kedua bahunya.

"Apa kamu pikir mama suka sama kondisi kita sekarang ini?"

"Aku berangkat." Hanya itu tanggapan Kinal. Ia melangkah menuju pintu depan. Ibunya tak senang dan menyusul. Hendak menahannya.

Dari depan suara mobil terdengar. Orang yang ditunggu ibunya sudah datang. Om Yudi. Beliau terlihat sumringah seperti biasa dan memberikan sapaan ramah pada Kinal. Sayangnya Kinal sudah tak pernah menyambut sapaan itu lagi. Tidak setelah ia tahu kalau ibunya berniat menikahi pria itu.

"Kinal!" bentak ibunya. Kinal tak peduli dan melanjutkan langkahnya. Ia sampai di sekolah lima belas menit kemudian. Di gerbang ia melihat Sekai dan Jia yang berjalan dari arah lain. Di mana pangkalan angkutan umum berada. Keduanya tampak sedang bicara sesuatu yang menarik. Sekai akan tertawa pelan, kemudian Jia juga akan tersenyum.

"Hei, Kinal!" Sekai—seperti biasa selalu menyapanya. Kinal merutuk dalam hati. Betapa sikap ramah cowok itu mengingatkannya pada sikap om Yudi. Jia ikut menyapanya, walau masih tampak hati-hati karena takut pada Kinal yang dingin.

Kinal tak menyahut, namun ia bergabung dengan keduanya. Berjalan di belakang mereka sembari mendengar apa yang mereka bicarakan. Rupanya bukan hal serius, melainkan kegiatan rutin mereka sehari-hari. Tak terdengar menarik bagi Kinal, maka ia terus diam dan berpikir.

Ayah dan ibunya bercerai setahun yang lalu. Ayahnya pindah ke Lombok—karena pekerjaannya. Sementara ibunya tetap tinggal bersamanya. Mereka mencoba menjalani hubungan berdua namun nyatanya tak berjalan lancar. Temperamen keduanya yang sama-sama buruk membuat pertengkaran mudah terpicu.

Kinal butuh perhatian. Sementara ibunya terlalu sibuk dengan pekerjaan selaku single-parent. Terakhir ibunya malah mengabari kalau ia ingin menikah dengan teman dekatnya. Salah satu alasan pertengkaran antara ayah dan ibunya dulu. Bagaimana Kinal bisa tenang mendapati kenyataan itu. Orang yang mulai dibencinya akan menjadi ayah tirinya.

Sekai diam-diam menoleh ke belakang. Ia dapati wajah muram Kinal yang sedikit berbeda dari biasanya. Gadis itu tampak memikirkan sesuatu yang begitu serius.

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now