Chapter 1

32K 2.5K 101
                                    


"Aduh, duuh ... sakiittt!" Kirana mengusap-usap lutut. Wajahnya merah padam. Bukan karena menahan sakit, tapi karena ketahuan memotret Elang diam-diam!

Saat itu, yang Kirana inginkan hanya satu, terbang ke langit tertinggi dan tidak pernah turun lagi ke bumi agar Elang tidak pernah ingat kejadian ini lagi.

Ah, gagal lagi, deh! Kirana menggerutu. Foto nggak dapat, dengkulnya malah dapat beberapa goresan.

"Ya kamu, sih ... Ngapain juga motret aku diam-diam? Hahaha ...," Elang tiba-tiba tertawa.

Kirana terdiam. Di dalam dadanya, sesuatu berdentam lebih kencang. Mata gadis itu menatap mahakarya Tuhan di hadapannya.

Elang ... kamu ... kamu sempurna banget kalau sedang tertawa. Duh, itu, poni kamu yang sudah mulai panjang, bahu kamu yang terguncang, rasanya aku tidak ingin detik ini cepat berlalu.

"Eh, maaf!" tawa langsung lenyap dari bibir Elang. Laki-laki itu terbelalak melihat makhluk di hadapannya menatapnya lekat-lekat. "Aku nggak punya hati banget, ya. Ada teman jatuh malah akunya tertawa."

Oh? Dia mengira aku sebal karena dia tertawa? Bukan. Bukan itu, Elang. Aku justru senang lihat kamu tertawa. Kapan lagi aku bisa sedekat ini denganmu?

Kirana masih terpaku di tempatnya. Apa tadi Elang bilang? Teman?

Ada rasa sakit yang menyelinap diam-diam. Kirana ingin lebih dari itu. Dia ingin lebih dari sekadar teman bagi Elang. Andai Kirana bisa bilang bahwa dia naksir Elang. Andai seorang gadis bisa dengan mudah nembak cowok.

"Kiran? Kamu kok, diam aja? Lututnya sakit banget, ya?" wajah Elang berubah cemas. Matanya berpindah, dari wajah Kirana ke lutut gadis itu. Dia menemukan beberapa goresan luka di sana.

Tanpa disadari, Kirana mengangguk pelan.

"Sini, yuk! Aku kasih obat," tangan Elang merangkul bahu gadis itu.

Tiba-tiba Kirana merasa tersengat saat tangan Elang samar menyentuh bahunya. Gadis itu cepat-cepat mengirimkan permohonannya pada Tuhan agar detik itu bisa terulang berkali-kali.

"Kamu duduk di sini dulu, aku ambil obat," Elang meminta Kirana duduk di tempat di mana laki-laki itu tadi duduk sambil tekun menggores kain batik dengan motif-motif khas.

Saat Elang menghilang, Kirana mengutuk dirinya sendiri. Dia menatap pohon mangga tempat dia mengintai Elang tadi. Pohon itu lumayan lebat. Seharusnya Kirana tidak perlu ketahuan sedang ingin memotret Elang diam-diam, asalkan dia tidak bertindak bodoh, lupa mematikan blits dan menekan tombol silent. Sekarang, semua sia-sia. Rencana yang sudah susah payah disusun selama berhari-hari bersama Vanes, sahabatnya, berantakan semua.

Kirana menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dia tidak tahu, harus sedih atau senang dengan kejadian ini. Yang jelas, kalau tadi rencananya berjalan mulus, belum tentu dia bisa sedekat ini dengan Elang. Masalahnya, bagaimana caranya agar Kirana bisa tenang, jantungnya tidak berdebar terlalu keras, sehingga dia tidak tampak ngos-ngosan?

Ah, Kirana tidak tahu.

"Ini obatnya. Aku pakein, ya."

"Eh, Lang, jangan! Aku bisa pakai sendiri," Kirana refleks menjawab. Dia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau Elang yang mengoles obat merah itu di lututnya.

"Oh, kenapa? Kamu marah sama aku gara-gara tadi kamu jatuh?"

Kirana terbelalak, lalu menggeleng kuat-kuat. "Nggak apa-apa, Lang. Aku bisa pakai sendiri."

Elang hanya bisa menatap gadis itu mengoleskan obat merah dengan tergesa-gesa. Yang Elang tahu, tangan gemetar Kirana dan napas yang tersengal-sengal adalah karena gadis itu menahan sakit akibat luka di lututnya. Elang tidak tahu, dentuman bertalu-talu di dada Kiranalah yang membuat gadis itu bersikap tidak wajar.

"Gimana? Udah mendingan? Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Tadi aku lupa ngambilin minum. Pasti kamu perlu minum."

"Eh, Lang! Nggak u ...."

Kirana belum selesai berkata, Elang sudah melesat ke dalam. Lagi-lagi, gadis itu tidak tahu, harus sedih atau senang.

Akhirnya, Kirana berusaha menerima kenyataan. Dia duduk diam sambil memandangi langit Solo yang cerah di sore ini. Ternyata, kemalangan bisa membawa keberuntungan. Kalau tidak ada kejadian sial itu, mana berani Kirana sengaja duduk di sini?

Pandangan Kirana berganti ke sekitar tempat duduk. Masih ada cairan malam atau lilin di penggorengan kecil, di atas tungku yang masih menyala. Di meja, selembar kain sudah terisi motif setengah permukaannya. Setengahnya lagi masih berupa kain putih polos.

Itu hasil karya Elang, batin Kirana.

Di Solo, banyak remaja laki-laki yang hobi membuat batik. Hidup di lingkungan orangtua yang berprofesi sebagai pembuat batik membuat banyak anak akhirnya ikutan senang membuat kain tradisional ini. Kadang-kadang, membuat batik bukan hobi, tapi suatu keharusan, karena orangtua mereka adalah pembatik yang dibayar oleh pengusaha batik, untuk menciptakan produk batik yang berkualitas.

Elang campuran keduanya. Orangtua Elang sudah puluhan tahun membuat batik untuk usaha batik milik Bude Citra, kakak dari  Papa Kirana. Elang dan keluarganya menempati rumah yang ada di sebelah rumah Bude Citra. Elang juga hobi membuat batik. Tidak ada hal yang paling membahagiakan Elang selain menyalurkan hobi membatik sekaligus membantu orangtuanya memenuhi pesanan-pesanan batik.

"Hei, kok, melamun?" Elang muncul dengan dua gelas jus jeruk di kedua tangannya.

Kirana yang setengah melamun, tiba-tiba terlonjak. Tanpa sengaja, lengannya menyenggol cairan malam yang ada di penggorengan kecil, lalu isinya tumpah di atas lembaran batik yang sudah setengah jalan.

Kirana terbelalak. Sesaat, dia tidak percaya dengan kejadian itu. Di hadapannya, mata Elang hampir melompat. Gigi laki-laki itu gemeletuk.

"Kiran! Itu pesanan Bu Anggoro. Dia minta batiknya selesai dengan cepat! Aduh! Sekarang kamu menumpahkan cairan malam di situ! Kamu harus ganti!"

Nada suara Elang pelan, namun terdengar menggelegar di telinga dan terasa berdebam di dada Kirana.


Fluttering HeartsWhere stories live. Discover now