Chapter 17

9.8K 1.2K 39
                                    

Kirana masih duduk di tempat tidur sambil memeluk dress batik pemberian mendiang Mama. Rumah joglo, lemari jati besar, dan semua yang dirasakan selama di rumah itu tadi siang membuat energi gadis itu terkuras habis. Karenanya dia memilih menghabiskan malam Minggu di kamar saja.

Baru saja Kirana akan menyimpan dress itu tiba-tiba ponselnya berbunyi. Diliriknya layar ponsel. Nama Papa tertera di sana. Kirana langsung menyambar ponsel.

"Halo, Pa?" sapa Kirana. Satu pertanyaan langsung terlintas di pikirannya. Apakah Papa tahu tentang rumah joglo itu dan batik-batik koleksi Mama yang diwariskan pada Kirana?

"Halo, Nduk. Selamat ulang tahun, ya. Sehat terus dan jadi anak kebanggan orangtua," suara Papa di sana terdengar riang.

Kirana tersenyum kecil. Dia sama sekali tidak keberatan dengan permintaan Papa seperti itu, apalagi setelah melihat keseriusan Mama yang mewariskan kain-kain berharga itu. Kirana ingin menjadi kebanggan mereka.

"Iya, Pa. Terima kasih. Papa juga sehat terus, ya. Sekarang Papa ada di mana?"

"Papa masih di JHCC. Maaf ya Papa baru sempat menelepon kamu. Adikmu baru selesai pertunjukan."

Adikmu. Kirana mengernyit. Papa benar, Keisya adalah adiknya. Baiklah, sekarang dia akan mulai lebih berdamai dengan keadaan walaupun perasaannya tidak bisa berbohong. Kirana iri pada Keisya yang punya keluarga utuh.

Kirana cepat-cepat menepis pikiran itu. Dia tidak boleh iri. Solo – Jakarta bisa ditempuh hanya selama 1 jam lebih sedikit. Kalau Kirana ingin bertemu Papa, dia bisa pesan tiket pesawat kapan saja.

"Kirana, kapan-kapan Papa ingin mempertemukan kamu dengan Keisya. Kalian harus akrab," kata Papa lagi.

"Iya, Pa. Boleh. Sampaikan salamku untuk Keisya, ya," Kirana sengaja tersenyum agar perasaannya menjadi lebih baik.

Setelah Papa menutup telepon, Kiran merasa lega. Paling tidak Papa masih ingat ulang tahunnya.

Tok tok tok ...

"Kirana, boleh buka pintu sebentar?" suara Bude Citra terdengar di luar.

Kirana bergegas membuka pintu.

"Ada apa, Bude?"

"Ini ada kiriman bunga, tapi nggak ada nama pengirimnya," Bude Citra tersenyum dan menatap Kirana dengan tatapan ingin tahu. "Ini mawar merah, lho. Tanda cinta."

Bude Citra berdehem lalu batuk. Batuk yang dibuat-buat, sengaja untuk menggoda Kirana.

"Oh?" Kirana menerima bunga itu. Hal pertama yang dilakukannya adalah membaca tulisan di kartu ucapan yang terselip di antara mawar-mawar itu. Keningnya langsung mengerut, pikirannya melanglang buana menebak si pengirim. Kirana tidak bisa menampik bahwa perasaannya ikut berbunga-bunga ketika berharap pengirim bunga itu adalah Elang.

Kalau mawar bisa tumbuh di hati, kuharap pemilik hati itu adalah kamu. Happy sweet seventeen, Kirana.

Sayang sekali ucapan manis seperti ini tidak mencantumkan nama pengirim, batin Kirana.

"Nanti kalau sudah tahu nama pengirimnya, kasih tahu Bude, ya," Bude Citra menepuk-nepuk bahu Kirana.

"Ah, Bude. Paling ini orang yang kebetulan aja nulis begini," Kirana tergelak. Tiba-tiba wajahnya bersemu merah.

"Tuh kan, pipi kamu merah. Hahaha ... ya sudah, Bude tunggu tunggu di bawah, ya. Kita makan malam," Bude Citra menutup pintu.

"Eh, Bude!" Kirana buru-buru mencegah Bude Citra yang sudah melangkah ke arah tangga.

Fluttering HeartsWhere stories live. Discover now