Chapter 2

22.1K 2.2K 49
                                    

Kirana terdiam. Dia baru tahu bahwa Elang, cowok yang murah senyum, ramah, tampak asyik kalau sedang bersama teman-temannya, ternyata bisa marah juga.

"Elang ... aku ... aku ...," Kirana merasa nyaris tercekik.

Sementara, Elang terus menatap Kirana, nyaris tanpa berkedip. Tangannya masih menggenggam dua gelas jus jeruk.

"Maaf, aku nggak sengaja, Lang," Kirana berdiri sambil menangkupkan kedua tangan erat-erat.

Elang masih diam. Wajahnya merah padam. Kedua alis tebalnya bertaut. Bibirnya terkatup. Mungkin sebentar lagi akan keluar asap tebal dari telinga cowok itu.

"Lang ... aku ... aku mau ganti. Nanti aku buatkan batik yang baru. Aku janji," suara gadis itu nyaris hilang tertelan kepanikan.

Elang menelan ludah, lalu meletakkan gelas jus di meja yang sama dengan selembar kain batik yang sudah tertutup lapisan lilin yang tumpah.

Kirana bersiap mendengar kemarahan Elang. Dia sudah ikhlas akan dimarahi oleh cowok yang selalu hadir di mimpi-mimpinya itu. Mungkin inilah jalan Tuhan dalam memberi kesempatan pada Kirana untuk bisa ngobrol dengan Elang.

Kirana merasa sedikit lega ketika Elang duduk di bangku. Gadis itu memilih tetap diam di tempat. Tiba-tiba Elang berdiri lagi, mengambil bangku lain lalu meletakkannya di sebelah bangku Elang.

"Duduk!" nada suara Elang masih rendah dan dalam.

Kirana terkejut. Elang nggak marah? Kok, dia nyuruh aku duduk? Kukira dia akan ....

"Sudah. Jangan kebanyakan bingung. Duduk sini!"

Kirana gelagapan karena tidak mengira Elang akan tahu pikirannya. Daripada Elang semakin marah, Kirana langsung saja menuruti kata-kata cowok itu. Tangan Kirana semakin gemetar ketika dia sudah duduk tepat di sebelah Si Keren. Dari jarak sedekat ini, Kirana bisa mencium aroma cowok itu. Entah, harum parfum atau jel rambut.

Kirana semakin salah tingkah. Dia melipat kaki kanan ke atas kaki kiri. Tapi tak lama gadis itu mengubah posisi lagi. Kali ini menarik kedua kakinya sehingga berada di kolong bangku. Lalu, dia duduk sambil memegang kedua lutut. Kemudian berubah lagi, menyenderkan punggung ke sandaran bangku.

Gadis itu benar-benar gelisah menunggu kata-kata Elang selanjutnya. Sementara, matahari mulai oranye keemasan. Langit sudah tidak seterang tadi.

"Lang, aku benar-benar minta maaf," Kirana memutuskan untuk berkata lebih dulu, daripada diam dengan detak jantung yang tidak terkendali. "Aku mau bertanggung jawab."

Elang bereaksi. Duduknya menjadi lebih tegak dan dia memutar tubuhnya, menghadap ke arah Kirana.

Kirana nyaris sesak napas dihujani tatapan tanpa kedip dari sepasang mata hazel milik Elang. Gadis itu tidak mampu menatapnya lama-lama. Perlahan, ditundukkannya pandangannya.

"Masalahnya, kamu yang biasanya upload foto OOTD di Instagram dengan baju-baju modis ala model, apa bisa bikin batik?"

JLEB!

Kata-kata itu menancap sangat dalam di hati Kirana. Gadis itu baru sadar. Batik? Kain-kain bermotif rumit itu? Sejak kapan Kirana mau tahu tentang batik apalagi membuatnya?

Elang masih menatap Kirana dalam-dalam. Laki-laki itu tahu, Kirana tidak berani menatap balik karena kesalahan yang telah diperbuat. Elang sangat menikmati suasana ini. Suasana di mana Kirana tidak bisa mengelak, apalagi melakukan perlawanan.

Kirana meringis. Dia menyadari, selama ini tidak pernah mau tahu tentang kain-kain itu. Kain-kain yang membuat mendiang Mama dulu selalu sibuk dengan para pelanggan yang memesan kain tersebut. Kain-kain yang membuat Bude Citra, kakak Mama yang kini bisa menghidupi Kirana. Kain-kain yang membuat Kirana kini bisa upload foto-foto lucu dengan pakaian-pakaian yang dibeli dari uang jajan yang diberikan oleh Bude Citra. Kain-kain yang sebenarnya berjasa untuk hidupnya, tapi Kirana tidak menyadari.

Kirana menarik napas, berusaha agar detak jantungnya kembali normal. Elang benar. Selama ini Kirana yang bercita-cita menjadi desainer fashion memang tidak pernah melirik batik. Sedikit pun.

Kuno.

Itu alasan pertamanya. Sejak lahir Kirana sudah hidup di lingkungan yang akrab dengan batik. Batik dipakai oleh eyang-eyang di keluarganya. Batik berupa kain, melilit tubuh para orangtua di keluarga Kirana.

Rumit.

Itu alasan kedua. Kenapa sih, bikin selembar kain saja dibuat rumit? Kenapa nggak langsung saja beli kain yang sudah ada motifnya, lalu dibuat pakaian yang modis ala baju-baju Korea yang lagi happening banget?

"Ya, tapi ... tapi, bisa kan, batik dibuat lebih gampang?" Kirana kehabisan ide. Dia tidak tahu jawaban seperti apa yang pas untuk pertanyaan Elang.

"Kamu kayaknya kebiasaan menggampangkan sesuatu, ya."

Kali ini Kirana nyaris terlonjak. Kata-kata Elang nyinyir banget.

"Siapa yang menggampangkan sesuatu?" tanya Kirana, ketus.

"Ya kamu," sahut Elang.

Kirana masih tidak mengerti, Elang masih bisa berbicara dengan suara tenang.

"Aku yakin, batik bisa dibuat lebih mudah. Kain, dicorat-coret, lalu dibuat jadi baju. Gitu aja kenapa, sih?" kali ini Kirana sudah berani menatap Elang.

"Kiran!"

Kirana mengangkat wajah, menatap bola mata Elang yang bening seperti air danau. Samar, ada bayangan wajah Kirana di danau bening itu.

"Kamu nggak boleh sembarangan. Batik itu justru dihargai dan bernilai tinggi ya karena kerumitan pembuatannya. Batik itu beda dengan kain-kain lain. Milih bahannya aja harus yang bagus. Bikin motifnya harus sesuai sama tradisi kita. Masing-masing motif ada artinya sendiri. Belum lagi, bikin motifnya harus pakai malam. Harus dicelup ke cairan pewarna, setelah itu malam atau lilinnya dikerok lagi. Pokoknya rumit, tapi unik."

Kirana hanya terpaku. Cowok gaul, trendi, dan keren seperti Elang mengerti tentang batik? Kalau Kirana sih, diberi uang puluhan juta juga tidak akan pernah mau bikin-bikin batik. Tapi, sekarang gadis itu terjebak. Suka atau tidak, dia terpaksa harus membuat batik itu dari awal.

Suara decak tak sabar keluar dari bibir Kirana.

"Aku bosan dengar kata-kata kamu. Aku nggak suka batik. Maaf, Lang. Aku nggak sepakat dengan kamu," Kirana menggeleng.

"Eh, kamu nggak bermaksud melarikan diri dari tanggung jawab, kan? Kamu harus tetap gantiin batik itu!" kali ini Elang menatap galak ke arah Kirana.

Kalau saja Elang tidak berbicara tentang batik, Kirana tidak merasa sebosan ini.

Bicara tentang batik hanya membuat Kirana terluka. Karena, itu berarti Kirana harus ingat almarhumah Mama. Itu juga berarti memaksa Kirana teringat tentang Papa, yang tinggal bersama keluarga barunya. Sejak Mama masih ada. Sejak Kirana masih kelas empat SD.

Tiba-tiba Kirana merasa luka yang dulu datang lagi. Luka ketika Papa harus pergi meninggalkan Kirana dan Mama.

Luka yang kembali membuatnya terhimpit jauh ke dasar bumi.

k�2@���

Fluttering HeartsWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu