Chapter 9

14.6K 1.5K 29
                                    

Kirana belum pernah merasa setersiksa ini menunggu waktu. Bel tanda pulang sekolah memang tinggal lima menit lagi, tapi rasanya seperti menunggu selama bertahun-tahun. Gadis itu sibuk merapikan rambut, menyisir berkali-kali dengan jarinya. Dia juga menarik napas panjang lebih banyak daripada biasanya, untuk menjinakkan detak jantung yang nyaris tak terkendali.

Bu Angeline masih semangat menjelaskan sistem periodik unsur, tapi Kirana melihatnya hanya sebagai bayangan. Vanes beberapa kali melirik sahabatnya. Dia senyum-senyum sendiri melihat tingkah Kirana.

"Ssstt! Udah nggak sabar ketemu Elang, ya?" Vanes berbisik.

"Ck! Jangan gitu, deh," Kirana menyahut, galak.

Vanes tergelak.

Begitu bel berbunyi, Kirana nyaris terlonjak. Perasaannya sangat lega seperti burung yang baru saja terbebas dari sangkar. Kelas pun langsung gaduh, dan Kirana mulai memasuki penantian kedua. Menunggu Elang menjemput.

Sekarang, Kirana sibuk melongok keluar, ke kelas Elang di lantai tiga..

"Aku pulang duluan, ya. Kamu bareng Elang, kan?" tanya Vanes.

"Iya. Ati-ati, ya," sahut Kirana.

"Nanti ceritain ya, kencannya," Vanes terkikik.

"Kencan apaan. Elang cuma ngajak ke belakang rumah, kok. Kayaknya dia ada perlu apa, gitu," kata Kirana.

"Ya sama aja. Ya udah, bye byeee ....," Vanes menggendong ranselnya lalu keluar.

Kelas 11 IPA mulai sepi. Kirana semakin cemas. Lehernya pegal karena terus menerus terjulur ke luar kelas, melalui kaca jendela. Kelas Elang juga mulai tampak sepi.

"Belum pulang?" Addo berjalan mendekati pintu keluar.

"Sebentar lagi," sahut Kirana.

"Nunggu apa? Biasanya bareng Vanes. Dia kan, udah pulang," Addo menghentikan langkah.

Kirana tersenyum. "Nunggu Elang," sahut Kirana, singkat.

"Iya, Kirana nunggu aku, Do," tiba-tiba Elang muncul di pintu.

Addo mengangguk-angguk. Bibirnya mengerucut. Ada sorot kecewa di matanya.

"Oke. Jagain, ya. Jangan sampe lecet," Addo menepuk bahu Elang, lalu melangkah menjauh.

Akhirnya Kirana bisa bernapas lega. Dia cepat-cepat mengambil ranselnya dan berjalan keluar kelas menyambut Elang, dengan wajah gembira.

"Yuk!" Elang berbalik badan dan mengayunkan langkah panjang-panjang.

"Jalannya cepat amat, sih. Oh iya, aku lupa, kaki kamu panjang banget, ya," Kirana tertawa, disusul oleh gelak Elang.

Hati Kirana mulai tenang. Iramanya sudah teratur. Sekarang waktunya menikmati jalan bersama pemuda itu.

***

Sore hari seperti ini, Kampung Batik Laweyan tidak terlalu ramai. Pemukiman yang sekaligus desa wisata batik ini tampak teratur. Rumah-rumah yang berderet-deret di kanan kiri jalan kebanyakan adalah rumah sekaligus galeri batik. Bahkan banyak juga yang merangkap tempat pembuatan batik.

Kirana menikmati suasana kampung batik itu. Meskipun rumahnya dekat dari sini, gadis itu sudah lupa terakhir kali masuk ke perkampungan unik ini. Kirana merasa seperti wisatawan di kampung sendiri.

"Kamu mau ngapain ke sini, Lang? Ada perlu apa?" tanya Kirana.

"Sebenarnya, sih ... eh, tunggu!" Elang menghentikan langkah.

Kirana ikut berhenti.

"Kamu jalannya cepat amat, sih? Yang kakinya panjang kan, aku," Elang tersenyum.

Kirana terbahak. "Aku kan, cuma menyesuikan kamu, Lang."

"Tapi sekarang aku jalannya santai aja, kok. Kita nggak usah buru-buru, ya. Ini masih sore, lho," sahut Elang.

Wajah Kirana merona. Sebenarnya dia berbohong. Dia melangkah cepat-cepat bukan karena menyesuaikan langkah Elang yang biasanya panjang-panjang, tapi untuk meredam perasaannya yang melonjak-lonjak. Baru kali ini Kirana bisa jalan bersama Elang. Inilah kencan pertama mereka. Sesederhana ini.

"Oke, deh," Kirana mengangguk.

Mereka terdiam sesaat. Perhatian Kirana memang tertuju pada galeri-galeri di kanan kiri jalan. Berbagai macam batik terpajang di etalase. Kain, baju, kemeja, dan perlengkapan lain yang semuanya terbuat dari batik, ada di deretan rumah-rumah di Kampung Batik Laweyan ini.

Pemandangan itu tidak asing bagi Kirana. Rumah Kirana juga punya galeri. Galeri batik. Kain-kain cantik, sepatu-sepatu keren, baju-baju yang modelnya kekinian, semuanya terbuat dari batik. Dari mulai batik tulis yang harganya selangit sampai tas keren dari batik cap yang harganya bersahabat, semua ada di galeri di rumah Kirana. Semua barang yang dipamerkan di galeri itu dibuat di workshop atau tempat pembuatan batik yang ada di rumah Elang.

Tiba-tiba Kirana teringat sesuatu. Sudah berapa lama dia tidak berkunjung ke galeri? Satu-satunya ruangan yang sangat jarang dikunjungi. Buat apa juga?

Elang mengajak Kirana berbelok. Mereka menyusuri lorong-lorong dengan tembok menjulang di kanan dan kiri jalan. Wangi lilin langsung tertangkap oleh penciuman Kirana. Wangi khas yang selalu tercium dari arah rumah Elang.

Kirana merasakan sesuatu yang berbeda. Tembok-tembok tinggi ini seakan membawanya ke suatu masa, tapi Kirana tidak tahu persis. Masa yang mana? Kapan?

"Aku ke sini sih, nggak ada perlu apa-apa. Cuma pengin jalan-jalan aja," Elang melempar senyum.

Kirana mengernyit. Dia merasa aneh. Ini hanya di Kampung Batik Laweyan. Masih di sekitar rumah. Mau ngapain jalan-jalan di sini?

"Kamu ingat nggak? Dulu waktu kecil kita pernah kari-larian di lorong ini," mata Elang menerawang ke langit lepas. Wajahnya bersinar seakan membayangkan sesuatu yang membahagiakan.

Langkah Kirana terhenti. Dia menatap Elang yang juga menghentikan langkah.

"Dulu?" Kirana binggung. "Kapan? Aku nggak ingat sama sekali."

"Waktu kita masih kecil. Aku juga nggak ingat kita umur berapa. Yang masih kuingat jelas, kita lari sama-sama terus kamu jatuh. Nangis," sahut Elang. Sorot matanya semakin berbinar-binar.

"Masa, sih? Hahaha ...," Kirana langsung tertawa.

"Iya. Aku yang ngantar kamu pulang. Mama kamu langsung meluk, terus ...."

Mama.

Meluk.

Kirana terdiam. Tiba-tiba gadis itu ingat sesuatu.

Peristiwa yang sangat membekas di dalam hatinya.

Fluttering HeartsWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu