Tiga

23.2K 2.3K 141
                                    

"Ada yang menonton kita," ujar Fajar, dengan perlahan melepas ciumannya.

"Heh," sahut Senja bingung.

"Apa kita abaikan saja?"

"Siapa?"

"Penonton."

"Penonton?"

"Ya, yang menonton kita... berciuman."

"Hah...!!!" pekik Senja, dan ia baru menyadari apa yang sedang terjadi.

Bibir Fajar membentuk sebuah senyuman yang langsung membuat Senja menegakkan tubuhnya dengan gugup, wajahnya merona karena malu saat melihat Widia berdiri tak jauh dari mereka.

"Mata mas tertutup, tapi kok bisa tahu ada bunda di sini."

"Mungkin ikatan batin antara ibu dan anak." Widia segera menimpali pertanyaan Senja.

"Bunda? Ibu dan anak? Maksudnya, Bundaku? Jadi aku memanggil ibuku dengan sebutan bunda?" Nada suara Fajar terdengar tak mengerti.

"Iya Mas"

"Bukankah selama ini aku manggilnya Mama?"

"Mungkin Mas memanggil demikian pada ibu kandung Mas."

"Ya tentu saja Mama adalah ibu kandungku."

"Saat ini mas sedang mengalami hilang ingatan,"

"Ya, dokter sudah mengatakan hal itu saat pertamakali aku siuman, untuk itu aku tidak mengingatmu, tapi aku masih ingat siapa mama dan papaku, dan seperti apa aku memanggilnya."

Senja dan Widia terlihat saling bertatapan. Dan Senja bersyukur karena Widia tidak terlihat bersedih karena Fajar tidak bisa mengingatnya.

"Jadi begini, dokter bilang mas kehilangan separuh memori mas karena ledakan itu. Jadi jika saat ini mas berumur 30 tahun, maka mas tidak mampu mengingat kejadian dari sejak 15 tahun yang lalu sampai saat ledakan itu terjadi. Dan Bunda Widia mengadopsi mas saat mas berusia 15 tahun. Untuk itu mas tidak bisa mengingat Bunda Widia apa lagi aku yang baru mas kenal sekitar delapan tahun terakhir."

Senja menunggu reaksi Fajar. Tapi Fajar tetap diam, namun terlihat bibirnya terkatup membentuk garis keras. Napasnya terdengar tak teratur dadanya naik turun.

"Mas!" Panggil Senja. Tapi Fajar tak menjawab napasnya semakin memburu tak beraturan. Pekik kesakitan pun keluar dari mulut Fajar dengan tangan menekan bagian kepalanya.

Senja langsung panik, dengan cepat ia menekan bel untuk manggil dokter. Tak lama dokter pun tiba dan meminta Senja menunggu di luar. Namun, suara kasar Fajar mencegahnya.

"Biarkan dia tetap di sini, di dekatku!!!" perintah Fajar.

Akhirnya, dokter pun membiarkan Senja di sana. Aura si keras kepala itu mengontrol dan mengendalikan siapa saja yang ada di sana. Tak satupun ada yang bisa membantah, padahal komando itu keluar dari mulut seorang yang bahkan bergerak saja ia kesulitan.

***

Fajar sudah kembali terlelap karena obat penenang. Sementara Widia, harus pulang karena hari mulai gelap, ia harus menjemput Rio yang di titipkan di rumah Nabila ibunya Senja. Rio tidak terlalu betah tinggal di rumah ibunya Senja karena tidak ada teman bermain.

"Bagaimana, dok? Kenapa dia seperti tadi?" tanya Senja pada Dokter Hendra.

"Dia terlalu memaksakan diri untuk mengingat masa lalunya. Jangan biarkan keadaan ini terulang lagi, karena di khawatirkan ada pembuluh darah di otaknya yang pecah."

Senja hanya mengangguk, dengan kecemasan di wajahnya. Ia pun kembali duduk di kursi di samping ranjang pasien, tempat Fajar berbaring. Mungkin hanya itu satu-satunya ruangan ICU yang memiliki kursi untuk pengunjung di samping ranjang pasiennya.

Senja menanti FajarOù les histoires vivent. Découvrez maintenant