Epilog (part 2)

26.2K 2.1K 65
                                    


Spesial Tahun Baru

****

Pengajian itu berlangsung hingga pukul delapan malam, dan sampai semua orang itu pulang, kabar keberadaan Fajar belum juga mereka dapatkan.

Hampir semua anggota keluarga inti dari Senja dan Fajar berkumpul di kamar Senja yang ada di lantai dua Vila itu, beberapa saat setelah pengajian itu selesai. Senja yang sudah berganti pakaian, duduk di atas tempat tidur dengan pelukan Ana di sisi kirinya dan Widia di sisi lain. Kepalanya bersandar di pundak ibunya dengan berurai air mata.

Nessa pun terlihat di sana, dia tiba saat pengajian tadi dimulai. Saat ini dia hanya bisa duduk diam di samping ibunya sambil dalam hati berdoa dan berharap Tuhan mengembalikan kebahagiaan kakaknya.

Sementara Amira, dia duduk di sofa yang ada di kamar itu sambil menangis dengan Naina dan Nathan suaminya, yang duduk berdampingan di sampingnya. Sementara Christoph, dia terlihat mondar-mandir di tengah ruangan. Berkali-kali ia menghubungi Wardono, tapi lagi-lagi adik iparnya itu bilang, kalau keberadaan Fajar belum bisa ditemukan.

"Serahkan semuanya pada Tuhan, Sayang," kata Widia sambil mengelus pundak Senja yang terlihat lemas.

Senja mengangguk, tapi air matanya tetap mengalir di pipinya, dalam hati ia menjerit memohon pada Tuhan untuk keselamatan suaminya. Di saat bersamaan terdengar bunyi gaduh di lantai bawah, dan berhasil mengundang perhatian semua orang yang ada di kamar Senja.

Christoph segera mengarahkan tubuhnya siap keluar dari kamar Senja untuk mengecek keadaan di bawah. Namun, seketika langkahnya terhenti saat melihat sosok Fajar yang muncul di ambang pintu.

Baju Fajar terlihat kotor, tapi wajahnya cukup bersih, dia masih menggunakan kaus hijau tentara yang bernoda darah. Begitu pun dengan celana loreng yang membungkus pinggang hingga kakinya terlihat kotor bahkan terlihat sobek di bagian lututnya. Dia tidak menggunakan sepatu, mungkin sudah ia buka saat masuk ke dalam vila karena tidak ingin mengotori lantai.

"Oh Tuhan Yang Maha Kuasa." pekik Christoph, lalu berjalan mendekati Fajar untuk memeluknya.

Begitu pun dengan Amira, ia segera bangkit dari duduknya untuk melakukan hal yang sama dengan suaminya.

"Terimakasih Tuhan." bisik Amira di sela isak tangisnya. "Mama sangat mengkhawatirkanmu, Nak." lanjutnya saat memeluk Fajar.

"Sudah kubilang, jangan pernah khawatir, Mam. Tuhan selalu memberiku keselamatan. Bahkan, untuk pertempuran yang lebih besar dari yang baru saja aku lakukan, seperti pertempuran di Aceh bahkan di Lebanon." kata Fajar, sambil menggoyang-goyangkan tubuh Amira yang ada dalam pelukannya

"Kenapa tidak memberi kabar, itu yang membuat Mama khawatir?"

"Aku dan pasukan berada di hutan selama tiga hari tiga malam, tidak ada koneksi jaringan seluler dan aliran listrik di sana, dan tentu saja hal itu sukses membuat ponselku menjadi barang tak berguna." jawab Fajar sedikit melonggarkan pelukannya untuk menatap wajah ibunya.

"Separah itukah?"tanya Amira dengan menunjukan kengerian di wajahnya.

"Intinya, kami ada di sebuah antah berantah yang bahkan, untuk bertahan hidup pun kami hanya mengkonsumsi flora dan fauna yang hidup di sana."

"Mama seperti tak memiliki jantung, saat mengetahui kamu tak ada dalam kelompok prajurit yang selamat."

Air mata Amira mengalir deras, saat berbicara dan tangan Fajar terulur untuk menghapusnya, sambil berkata, "setelah memastikan semua musuh terpukul mundur, yang ada dalam pikiranku hanyalah pulang untuk acara besok, Mam. Karena jika aku terlambat maka acara besok bisa gagal dan tentu saja hal itu membuat semua orang kecewa, untuk itu aku pulang secepat yang aku bisa. Dan tak sempat untuk sekedar menelepon kalian."

Senja menanti FajarWhere stories live. Discover now