Delapan Belas (B)

18.6K 2K 49
                                    

Secangkir kopi berhasil menenangkan Nessa. Mereka sudah berada di kafe terdekat yang ia temui dan itu merupakan kafe yang sama dengan kafe yang lima hari yang lalu Nessa kunjungin untuk bertemu dengan Bagas.

Nessa berkedip cepat menatap Fajar yang sedang menelitinya.

"Kamu, baik-baik saja?" tanya Fajar, ia terlihat tak sabar, duduknya sangat resah, dan tatapannya membuat Nessa segera mengambil ponsel untuk mencoba menghubungi Bagas.

"Aku akan menghubungi dia, sekarang juga." kata Nessa dengan tangan mengoperasikan ponselnya, untuk melakukan panggilan.

"Akhirnya..." sambut suara di ujung telpon. Suara yang serak, yang langsung membuat bulu roma Nessa merinding tapi bukan karena kedinginan.

"Benarkan apa kataku, kalau akhirnya kamu sendiri yang akan menyerahkan diri." suara Bagas bernada puas membuat lidah Nessa terasa kelu.

"Bagaimana Nessa? Sudah siap untuk mengulang kegiatan kita yang sempat tertunda." Nessa langsung membasahi bibir, mencerna perkataan pria di ujung telpon itu. Suaranya seperti hilang karena ia hanya diam saat suara rendah dan dalam itu menyihirnya.

"Bagaimana, Nessa?" tanya Fajar. Suara Nessa belum juga tiba, dia masih terdiam.

"Siapa dia, Nessa?" tanya Bagas dengan nada marah.

"Temui aku di Woot Caffe sekarang jika kamu ingin tahu." balas Nessa, dan sepertinya ia sangat tahu kalau seorang Bagas tidak akan membiarkan rasa penasarannya berlarut, dan Nessa menjadikannya untuk mengundang Bagas segera.

"Oke... Tapi kali ini jangan pernah berniat untuk membayarkan pesananku. Kalau kamu tidak ingin aku perkosa." balas Bagas.

Nessa berdeham satu kali, lalu berkata "oke, aku tunggu segera." pungkasnya lalu memutus sambungan secepat yang ia bisa.

"Sebentar lagi dia datang."
ujar Nessa pada Fajar, suasana hatinya kembali kacau. Bahkan, suasana kafe yang santai tidak bisa menenangkan hatinya. Ia terlalu gugup untuk kembali bertemu Bagas.

Nessa meletakan ponselnya di atas meja dengan tangan bergetar, dan dia merasa konyol sendiri. Ia hanya mendengar suara Bagas tapi seakan orangnya ada di hadapannya, dan ia tidak bisa membayangkan jika ia harus bertemu lagi dengan pria itu.

Lima hari ini ia cukup menderita karena wajah Bagas tidak bisa enyah dari otaknya, bahkan dalam tidurnya pun ia selalu bermimpi tentang pria itu. Belum lagi ciuman Bagas, yang masih saja terasa di bibirnya.

Mata elang Fajar, menatap Nessa cukup lekat. Dan tentu saja bukan hal yang sulit untuknya dalam membaca ekspresi wajah Nessa.

"Dia kekasihmu?" tanya Fajar.

"Heh? Siapa?" tanya Nessa.

Fajar terkekeh melihat, Nessa yang tergagap.

"Tentu saja orang yang barusan kamu hubungi."

Percuma saja Nessa berbohong, seorang Fajar sangat cerdas dan seolah pandai membaca pikiran, terlebih pipinya terasa panas saat ini dan Fajar pasti bisa melihat rona merah di sana.

"Dia mantanku." kata Nessa.

"Sepertinya dia mantan terindahmu?" tanya Fajar sambil menahan senyum.

"Aku hanya punya satu mantan, Mas." kata Nessa, tersenyum kecut.

"Aku hanya mengingatnya saat ia berusia 17. Dia dikelilingi banyak wanita saat itu. Dan jika dia belum berubah saat ini, maka kamu terlalu baik untuknya, Nessa."

"Aku tahu. Untuk itu, sudah lama aku berhenti berharap dan melupakannya."

"Tapi manusia bisa berubah bukan?" kata Fajar.

Senja menanti FajarOnde histórias criam vida. Descubra agora