Dua puluh dua

19.3K 2.1K 117
                                    


Rania kembali dibawa ke ruang penyidik setibanya Fajar dan pamannya di kantor polisi itu.

Dengan tatapan angkuh, Rania tersenyum sinis pada Fajar yang duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja besar di ruang itu, Rania pun duduk di kepala meja, di kursi tempat para tersangka diinterogasi.

Bukan hanya Fajar dan Wardono yang ada di sana, Bapak Kapolres beserta staf penyidik pun kembali ikut serta dalam interogasi kedua itu.

Fajar bangkit berdiri setelah Rania duduk. Ia menghampiri wanita itu dengan matanya menatap penuh kebencian.

"Bagaimana rasanya berada di dalam jeruji besi, Rania?" tanya Fajar menyandarkan belakang tubuhnya di meja dekat Rania.

Rania tidak menjawab dia hanya membuang muka dengan raut sinis.

"Bisakah kamu membayangkan jika seumur hidupmu berada di sana?" lanjut Fajar.

Rania masih tidak menjawab.

"Aku pastikan hukumanmu akan diringankan jika kamu mau mengatakan padaku di mana persembunyian Bram, di kota ini."

"Jangan harap Fajar. Aku lebih suka membusuk di dalam penjara daripada harus mengatakan keberadaan dia padamu."

"Sepertinya kamu anjing setia kepunyaan Bram, seperti halnya Fajar Harimurti suamimu."

"Jaga mulutmu, Mayor. Kamu..."

"Mohon izin, Dan." sebuah suara membuat perkataan Rania menggantung, dan berganti dengan desis kemarahan yang keluar dari mulutnya.

Semua mata tertuju pada asal suara, dan pemilik suara terlihat memasuki ruangan penyidik yang diikuti satu orang temannya.

"Kami dari satuan gegana siap melapor," kata salah satu polisi yang baru datang itu pada kapolres. Dan kata-katanya berhasil mengalihkan perhatian semua orang yang ada di ruangan itu.

"Silakan Brigadir Yuda." kata Kapolres, sambil mengangguk pada polisi itu tanda mengizinkan.

"Kami berhasil menjinakkan bom yang dibawa wanita itu, Dan." kata polisi yang dipanggil Brigadir Yuda.

"Seperti apa jenis bom itu, Brigadir." sahut Kapolres.

"Awalnya kami mengira kalau bom itu adalah sejenis bom waktu, tapi setelah melihat lebih seksama ternyata bom itu tidak memiliki waktu jeda setelah bom di aktifkan. Jelasnya, bom itu akan meledak begitu tombol pengaktifan di tekan."

Rania yang juga mendengar perkataan tim gegana itu, tampak terlonjak. Matanya membulat tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Kemungkinan besar, wanita itu akan melakukan bom bunuh diri, Komandan." pungkas Brigadir Yuda.

Semua mata pun tertuju pada Rania.

"Bom itu akan meledak tiga puluh menit setelah di aktifkan. Pembuatnya sendiri yang mengatakan hal itu padaku," kata Rania spontan dengan raut tak percayanya karena berita yang baru saja ia dengar.

Sesaat ia membayangkan kalau bom itu benar-benar bom otomatis, tentu setelah bom itu ia aktifkan maka bom itu akan meledak dan ia akan ikut hancur terkena senjata pembunuh masal tersebut.

"Dia satuan gegana, Rania. Tim yang terlatih di bidangnya. Dia juga seorang polisi yang tidak akan mungkin memberikan laporan palsu pada komandannya," kata Fajar.

"Tapi jika bom itu bom otomatis, maka aku akan terkena dampak ledakannya juga, Mayor. Dan aku rasa itu tidak mungkin. Tidak mungkin Bram berniat membunuh aku juga," balas Rania.

"Tidak ada yang tidak mungkin untuk seorang Bram, Rania. Dia tidak akan mau mengambil risiko dengan membiarkan kamu hidup. Jika kamu berhasil meledakan bom tersebut, maka kamu adalah seorang terdakwa teroris yang diburu polisi. Dan jika kamu tertangkap, maka keberadaan dia akan terancam."

Senja menanti FajarWhere stories live. Discover now