Enam

24.8K 2.4K 170
                                    

"Bukan hal yang sulit untuk bisa mencintaimu, Senja. Aku sudah ingin menciummu sejak pertamakali aku mendengar suaramu. Berhentilah membangun tembok pemisah di antara kita. Dan sekarang, setelah perban sialan itu menyingkir dari seluruh wajahku, maka tidak ada alasan lagi untukmu menolak ciumanku." Nada suara Fajar penuh ancaman, matanya menyipit menatap Senja, sementara kakinya terus berjalan mendekati Senja yang beringsut mundur hingga punggungnya membentur dinding di belakangnya.

"Stop Mas, Mas mau apa?" tangan Senja terangkat untuk menahan dada yang terasa keras di telapak tangannya. Namun dada Fajar terus mendorongnya, hingga wajah keduanya berdekatan.

"Tentu saja mau menciummu, Senja. Semua perbannya sudah dilepas, aku sudah menepati janjiku, sekarang tepati janjimu!" balas Fajar, dengan tangan yang ia letakan di kedua sisi tubuh Senja, posisi mengurung.

"Ada banyak dokter dan perawat di sini." Senja mencoba membuat alasan.

"Merekapun punya istri dan mereka akan melakukan hal yang sama setelah hampir dua bulan tidak mencium istrinya. Sudahlah Senja, jangan membuat alasan," balas Fajar tangan kanannya menangkup pipi kiri Senja, membelai bibir ranum itu dengan ibu jarinya. Senja tidak bisa meredam getaran di tubuhnya, wajahnya mendongak menyambut sentuhan tangan Fajar.

Seringai puas terlihat di wajah Fajar, yang jelas memahami reaksi sentuhannya di tubuh Senja. Sentuhan Fajar seolah menghantarkan arus listrik yang aneh, dan mampu membuat bibir Senja merekah dan tubuhnya mendamba hanya dalam satu sentuhan.

"Aku mohon Mas!" lirih Senja menyerupai desahan, matanya sayu merasakan sentuhan jemari Fajar yang kini mulai menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.

"Aku mohon apa, Senja?"

"Jangan cium aku!" pinta Senja, namun tubuhnya mendekat kala jari tangan Fajar menembus helaian rambutnya, menekan tengkuk Senja menyempitkan jarak diantara mereka. Sensasi sentuhan Fajar membuat perasaannya melayang, hingga ucapannya tidak sinkron dengan pergerakan tubuhnya.

"Tapi tubuhmu menginginkannya."

"Jangan Mas, aku mohon."

"Kenapa?"

Senja memejamkan mata sesaat, dan membuka mata kembali setelah yakin kerja otaknya sedikit berfungsi.

"Mas sedang tidak menjadi diri Mas sendiri, Mas sedang amnesia, sedang lupa dengan Rania. Jika mas ingat semuanya, mas tidak akan mungkin menginginkan semua ini dariku."

"Sudah kubilang kalau aku tidak ingin mengingat masa lalu itu, aku ingin memperbaiki hubungan kita dengan memulai semuanya dari awal."

"Jangan biarkan aku menjadi wanita yang pandai memanfaatkan situasi dan keadaan, Mas. Aku juga tidak ingin suatu hari nanti Mas menganggap aku ini adalah seorang yang suka menangguk di air keruh. Ingat Mas! Mas tidak mencintaiku, ada wanita lain di hatimu. Aku tidak ingin Mas menyesal di kemudian hari."

"Ini adalah keputusanku, dan menyesal adalah hal mustahil. Jadi, biarkan aku menciummu sekarang. Jangan menolak!!!"

"Tidak! Sampai ingatan Mas kembali." Senja bersikukuh dengan pendiriannya.

"Bagaimana kalau ingatanku tak akan pernah kembali lagi. Kamu istriku Senja, sebuah dosa jika kamu tidak memberikan apa yang menjadi hakku sebagai seorang suami."

Kini Senja mulai terpojok. Fajar memang benar, Fajar belum menceraikannya, dan dia pun belum melakukan pengaduan apapun ke pengadilan agama. Bukan 'belum' melainkan 'tidak mungkin', karena untuk menjaga perasaan Widia, Senja harus tetap menjaga pernikahannya dengan Fajar.

Dan sebagai seorang istri seharusnya ia memberikan apa yang menjadi hak suaminya. Tapi rasa takut akan bayang-bayang masa lalu membuat Senja berusaha mencari alasan lain.

Senja menanti FajarWhere stories live. Discover now